Pagi itu suasana di warung kopi Mak
Sutan terlihat agak sepi dari biasanya. Tampak hanya ada beberapa orang yang
sudah booking tempat duduknya di pojok-pojok ruang berukuran 2 x 5 meter
itu. Mungkin karena hari masih gelap. Hal itu terjadi lantaran Sang Mentari
agak terbit kesiangan. Waktu subuh saja, masuknya sudah lewat jam 5. Sehingga
walaupun jam tua di dinding warung Mak Sutan sudah menunjukkan jam enam kurang,
tetapi suasana di sekitarnya masih gelap-gulita. Ditambah pula dinginnya cuaca
subuh itu lantaran embun putih yang tidak mau segera beranjak dan terus
menyelemuti kampung Mak Sutan.
“Oooiiii... Mak Sutan! Kopi sakarek
dih!”
Seru Mak Pono dari depan pintu warung memecahkan suasana hening di subuh itu.
“Ondeh... Mak Pono rupanya. Duduaklah
dulu, Mak!”
Jawab Mak Sutan dari balik kaca etalase warung kopinya.
“Ntahlah, pesan kopinya cuma setengah,
tapi suaranya mengelegar seperti petir di subuh kelam”. Sambung Mak Itam
dari sudut sebelah kanan.
“Kenapa warungnya masih sepi, Mak Pono?
Apa karena sekarang musim cerai ya?” Mak Pono mencoba membuka obrolan warung
kopi pagi itu.
“Emangnya cerai itu nama buah-buahan
apa? Kok pakai musiman segala” Sahut Mak Itam agak terperangah.
“Justeru itulah Mak Itam, kalau banyak
yang kawin, kita menyebutnya musim kawin. Nah, sekarang banyak yang buru-buru
cerai karena berbagai hal. Kan musim cerai namanya?”
“Ehm...ehm... Assalamu’alaikum!” Tiba-tiba
terdengar suara yang tidak asing mengucapkan salam ketika memasuki warung kopi
itu. Semua mata tertuju pada sosok pria paruh baya dengan pakaian khasnya. Dia
adalah Angku Kali di kampung itu.
“Wa’alaikumussalam... Silahkan masuk,
Angku”. Jawab
Mak Pono yang kebetulan duduk di kursi paling dekat dengan pintu.
“Saya sudah mendengar perbincangan Mak
Pono dengan Mak Itam tadi. Tapi sebaiknya kita tidak menjadikan cerai itu
sebagai bahan candaan. Ingat, cerai itu adalah perkara halal yang sangat
dibenci oleh Allah SWT. Angku Kali memberikan tanggapannya.
“Iya, Angku. Saya tadi cuma ingin
membuka pembicaraan saja, agar ada yang akan kami perbincangkan”. Sahut Mak
Pono
“Tapi Saya tidak setuju, kalau cerai itu
dijadikan musiman lagi, Angku. Sudah cukup istilah musim kawin saja yang kita
pakai”.
Sanggah Mak Itam pula.
“Itulah hidup berumah tangga. Bak
mengayuh biduk ke tengah lautan. Pasti akan diterpa ayunan gelombang,angin
badai, gelombang tinggi, bahkan Tsunami sekalipun. Maka, suami sebagai kepala
rumah tangga, ibarat nahkoda yang harus bisa mengendalikan biduknya agar tak
tenggelam. Sedangkan isteri sebagai awak kabinnya, juga harus ikut berjuang
bersama sang Nahkoda agar sama-sama selamat dalam mengarungi kehidupan ini.
Tapi kalau masing-masingnya merasa hebat sendiri, inginnya menang sendiri tak
mau mengalah satu sama lainnya, maka jangankan disapu Tsunami, diterpa ombak
kecil saja, maka biduk itu akan terbalik dan karam.”
“Tapi itulah yang sekarang banyak
terjadi, Angku. Hanya karena isteri tidak sanggup sabar dalam menjalani hidup
dengan suami yang berkekurangan, lalu minta cerai. Atau hanya karena isteri
tidak bisa menghargai suaminya yang pengangguran, lantaran dia seorang pegawai,
lalu suaminya diusir.” Sambung Mak Sutan
“Sekarang muncul lagi persoalan baru,
Angku. Kadang suami pun acuh tak acuh dengan isterinya, lantaran dia tak
secantik waktu pertama kenal dulu. Dulu, waktu kenal di FB, cantik bukan main.
Setelah nikah, punya anak satu, tak pandai lagi merawat diri karena banyak
waktu terpakai berhoho-hihi di media sosialnya”. Sahut Mak Pono
pula
“Bapak-bapak juga sama saja, Angku!
Mereka enak, kerjanya cuma dari pagi sampai sore. Sorenya pulang ke rumah, bisa
istirahat. Lha kami, yang ibu-ibu setelah seharian sibuk bekerja di kantor, ehh
di rumah sudah ditunggu oleh seabrek pekerjaan pula. Jadi, mana sempat lagi
kami buat dandan seperti masih muda dulu”. Tiba-tiba Etek Biyai menyerobot
pembicaraan para bapak-bapak yang terdengar seperti memojokkan ibu-ibu.
“Nah... Justeru itulah, suami dan isteri
itu harus saling membantu, menghargai dan menghormati satu sama lainnya. Nabi
Muhammad SAW saja, tidak segan untuk menjahit bajunya sendiri yang sobek.
Bahkan Dia sering membantu isteri-isterinya. Padahal Dia adalah Nabi, Kepala Negara, Panglima di
kala perang, Imam di waktu shalat, Hakim dan segenap kesibukan lainnya. Masa
iya, kita yang bukan nabi, bukan kepala negara, bukan panglima perang tidak mau
membantu pekerjaan rumah isteri?”
Ibuk-ibuk juga harus bisa menghargai
suaminya. Jangan mentang-mentang suami sudah mau membantu, lalu malah seenaknya
menyuruh-nyuruh suami kerjakan ini itu. Mentang-mentang suami tidak punya
penghasilan tetap, lalu isteri seenaknya membelajakan uang penghasilannya
sendiri tanpa ngomong dulu dengan suami. Itu kan tidak beradab namanya.” Angku
menjelaskan pesannya.
“Oh ya... ini Kawa Daunnya, Angku. Saya
sudah menyiapkannya tadi. Walaupun Angku
belum pesan, tapi saya tau ini kan minuman kesukaan Angku setelah pulang
dari shalat subuh berjama’ah di masjid”. Sahut Etek Biyai sambil
menghidangkan segelas Kawa Daun khas kampung itu.
Mak Sutan.... (Bersambung)