Mak Sutan hanya diam memperhatikan Etek
Biyai dari balik kaca etalase warung kopinya.
“Terima kasih, Tek Biyai.” Sahut Angku Kali
sambil menerima secangkir kawa daun dan meletakkannya di atas meja.
“Tek, walaupun Etek sudah biasa membuatkan
air minum untuk orang lain, karena sudah begitu profesinya, tapi sebaiknya etek
tetap menjaga perasaan Mak Sutan juga.” Mak Pono tiba-tiba memberikan argumennya
melihat reaksi Mak Sutan tadi.
“Uhuukk uhuukk...” Tiba-tiba Angku
Kali terbatuk-batuk mendengar celoteh Mak Pono di saat dia mencoba menyeruput
Kawa daunnya. Nyaris saja menyembur muka Mak Itam yang duduk di depannya.
“Betul itu, Tek Biyai!” Sambung Mak Itam
pula.
“Saya jadi ingat tetangga saya di rantau
dulu, Tek. Isterinya seorang bidan, sementara suaminya hanya pekerja serabutan.
Saban hari, tentu saja si isteri ini biasa bergaul dengan banyak orang. Bahkan
tak jarang orang yang datang ke rumahnya untuk berobat walaupun sudah larut
malam. Coba bayangkan, Suami mana yang tidak cemburu melihat isterinya dijemput
dan pergi dengan orang lain di tengah malam pula.” Mak Itam
bercerita.
“Hmmm... benar juga apa yang disampaikan
Mak Pono dan Mak Itam. Kadang tuntutan profesi sering membuat kita bingung
harus memilih.”
Sahut Mak Sutan pula.
“Iya, Jadi begini. Sebagai suami tentu
saja kita harus memiliki rasa cemburu terhadap isteri. Kalau suami tidak lagi
ada rasa cemburu isteri, maka dia disebut Dayyus. Dia nanti tidak akan masuk
surga, bahkan tidak bisa mencium wanginya bau surga.” Angku Kali
memberikan penjelasannya.
“Persoalannya
memang terasa rumit, Angku. Bayangkan bila si isteri pergi ke luar rumah di
malam hari pula, tanpa izin suaminya. Kan durhaka namanya? Sebaliknya, kalau
dia tidak mau menolong orang yang membutuhkan pertolongannya, maka dia sudah
mengkhianati sumpahnya sebagai tenaga kesehatan.” Tiba-tiba Mak Sutan memberondong
Angku kali dengan pertanyaannya.
“Hmm...
hmmm...” terdengar
suara Angku Kali seperti sedang berfikir keras.
“Belum
lagi, kalau si isteri harus bekerja berdua dengan seorang laki-laki lain yang
merupakan rekan kerjanya. Kan dia punya isteri juga. Kasihan kan, Angku. Kalau
mereka nanti tiba-tiba perang dingin karena terbakar api cemburu.” Sambung Mak Sutan lagi.
“Betul-betul.
Tenanglah dulu Mak Sutan. Kan Etek Biyai bukan Bidan? Jangan baper lah...” Sahut Mak Itam karena ingin
mencairkan suasana warung kopi yang mulai panas dengan obrolannya.
“Hmmm...
Baiklah. Jadi begini, kita harus bisa menempatkan sesuatu secara proporsional,
adil. Sebagai suami tentu kita punya hak dan kewajiban terhadap isteri kita.
Begitu juga sebaliknya. Maka, kita harus bisa bijak menyikapinya. Seperti
menarik rambut dari dalam tepung. Rambutnya dapat, tepung tidak tumpah.
Kuncinya
adalah komunikasi harus dijalin dengan baik dan lancar antara suami-isteri.
Jangan sampai ada yang kesannya ditutupi atau disembunyikan. Pahami baik-baik
tentang tugas dan kewajiban masing-masing di luar urusan rumah tangga. Satu hal
lagi, jangan juga terlalu egois. Mentang-mentang karena tuntutan profesi, lalu
hak suami diabaikan. Ingat, kita hidup tidak hanya di dunia ini. Kita akan
mempertanggung jawabkan segala kegiatan kita di dunia ini di akhirat nanti.
Suami-isteri harus bisa juga menjaga diri dan perasaan pasangannya. Jangan
karena tuntutan pekerjaan, lalu suami dicukein aja. Kalau suami tidak ridho,
maka pekerjaan itu tidak akan berkah, walaupun mungkin dapat materi yang
banyak.” Angku
Kali menguraikan nasehatnya.
“Benar-benar
rumit ya, Angku! Apalagi kalau difikirkan terus. Ah.. nampaknya hidup ini
memang untuk dijalani, bukan untuk difikirkan saja. Tapi janganlah hidup tanpa
berfikir pula.”
Tiba-tiba Mak Pono menyerobot dengan petuahnya.
“Baiklah,
nampaknya hari sudah mulai agak siang. Mari kita bertebaran di muka bumi Allah
ini untuk mencari anugerah-Nya.” Tutup
Angku Kali.
“Tapi
Kawa Daunnya jangan lupa dibayar, Angku! Walaupun tadi tidak dipesan.” Sahut Mak Itam disambut gelak-tawa
seisi warung. Suasana yang tadi mulai tegang, kembali cair dan hangat sehangat
cahaya lembut sang Mentari pagi.
Demikianlah
sepenggal kisah di warung kopi Mak Sutan dalam topik “Musim Cerai”.
Selamat berjumpa lagi dalam topik-topik selanjutnya.
Mohon
maaf bila ada kesamaan nama, tokoh, kisah, tempat dan sebagainya. Kisah ini
hanya fiktif belaka. Mari kita ambil pelajaran di balik kisah tersebut. Silahkan
sampaikan kritik dan saran kepada Penulis melalui kolom komentar yang tersedia.
Terima Kasih.
Kisah sebelumnya bisa dibaca di sini ya...
BalasHapushttps://cerpenkerenunik.blogspot.com/2020/02/musim-cerai-sepenggal-kisah-di-warung.html