Jumat, 30 November 2018

AWASSS...! Inilah bahaya tidur yang mesti kamu ketahui.

AWASSS...! Iniliah bahaya tidur yang mesti kamu ketahui.

sumber : tidur-di-kantor-doktersehat.webp

Lho...! Tidur berbahaya?

Iya...! Kalau tidak percaya, silahkan simak kisah di bawah ini !

Pada zaman dahulu...

Ketika hendak pulang dari kota Padang menuju ke kota Batusangkar, Aku pun digendong sama si Yanti.

Eits... Jangan salah paham dulu ya, sob!
Si Yanti ini beda dari yang lain. Dia sudah biasa menggendong beberapa orang sekaligus.. Waw...!

Ntar dulu...

Si Yanti ini adalah sebuah bus AKDP yang melayani rute Padang-Batusangkar dengan merek dinding Yanti.

So, Aku pun duduk di kursi, di bagian tepi sebelah kanan agak ke belakang.
Aku sandarkan kepala ke bangku tempat duduknya, sementara bahu ku miringkan ke arah dinding bus Yanti ini.

Tak terasa, Aku pun tertidur pulas. Buaian bus yang menapaki jalan berliku-liku dan meliuk-liuk naik turun membuatku makin nyenyak dan terhanyut dalam mimpi yang datang entah dari mana.
Beruntungnya, tidak ada penumpang yang usil, karena di sebelah Ku ada seorang Bapak-bapak berumur sekitar 40-an. Dan Aku sudah sempat mengobrol tadi si Bapak ini sebelum busnya berjalan.

Karena tertidur juga, Aku melewatkan begitu saja pemandangan indah di lembah Anai. Padahal kalau lewat lembah itu, benar-benar seperti masuk ke dalam lembah di pedalaman hutan belantara.




Sungainya nampak jernih, airnya mengalir deras. Di sekelilingnya nampak pepohonan yang dahannya menjulur ke sungai seakan-akan hendak menangkap ikan di dalamnya.
Belum lagi, ketika sudah sampai di perbatasan kota Padang Panjang, akan tampak megah sebuah jembatan kereta api uap zaman belanda dulu.

Tak terbayang rasanya, kalau naik kereta api di jalur itu. Jembatannya tinggi, di bawahnya ada jalan yang membentang di pinggiran sungai. Bahkan ada yang menyeberangi sungai juga. Sungguh, jembatan di atas jembatan yang di bawahnya mengalir sungai-sungai.



Tiba-tiba, si Yanti yang tadi rasanya sedang membuaiku dalam tidur terasa aneh. Tak ada lagi terdengar raungan mesinnya seperti ketika mendaki tadi.

Tak ada lagi terdengar suara klakson khas si Yanti. Semua sunyi, bahkan tak ada lagi terdengar suara kernet bus yang sering teriak-teriak mencari penumpang. Semuanya sudah sepi.

Aku pun terbangun, ketika ada seseorang berusaha mendekat ke arahku. Ternyata di sang kernet yang akan membersihkan busnya.

"Da, busnya tidak ke Batusangkar ya? 
Kenapa berhenti di Padang Panjang?" Tanyaku keheranan.

Si Uda ini, hanya tersenyum lebar.

"Maaf Uda, tadi Uda tertidur pulas. Saya pun tak tega membangunkan Uda." Jawabnya datar.
"Ohh... Jadi sekarang ini sudah di mana Uda? Kenapa semua penumpangnya sudah tidak ada lagi?" Tanyaku lagi masih belum sepenuhnya sadar.

"Uda.. Semua penumpang sudah turun. Kita sudah sampai di Batusangkar. Silahkanlah Uda tengok keluar sana!" Jawabnya sedikit bersemangat.
Aku pun berdiri dan berjalan gontai ke arah luar bus. Satu-persatu ku lewati bangku kosong menuju pintu busnya.

Dan alangkah terperangahnya Aku, ternyata Aku memang sudah sampai di kota Batusangkar, kota budaya.

Ya...! Itulah bahayanya tidur tidak pada waktu dan tempat yang tepat. Jadi tidak sadar kalau sudah sampai di tujuan. Masih untung tidak dibawa kabur kemana-kemana.

Bisa dibayangkan apa yang terjadi kalau si sopirnya yang tertidur saat sedang menjalankan mobil. Atau apa jadinya jika ada seorang pelajar atau mahasiswa yang tidur ketika sedang belajar. Atau bahkan yang lebih mengerikan lagi, kalau ada wakil rakyat yang tertidur waktu sidang soal rakyatnya. Tentu akan ada jutaan rakyatnya yang akan mati perekonomiannya, mati harapannya yang ditumpangkannya pada pundak sang wakil rakyat. Dan masih banyak bahaya lainnya.

Jadi, tidurlah pada waktu dan tempat yang tepat agar bisa merasakan manfaatnya. Bahkan bernilai ibadah.

#KMOSeptember2018
#SahabatMenulisAlineaku


Rabu, 31 Oktober 2018

Memburu Koro cantik


Memburu Koro cantik


CERPEN

 
By Sutan Mudo

Dari Sudut Danau Cinto





Koro, begitulah masyarakat di sekitaran Danau Singkarak menyebutnya. Makhluk berbulu lebat berwarna keabu-abuan ini biasanya banyak menghabiskan hidupnya bergelantungan di atas pohon. Badannya terlihat ramping dan langsing, kaki dan tangannya hampir sama panjang. Bahkan ukuran kaki dan tangannya juga tidak jauh berbeda. Sekilas pandang, ia tampak memiliki empat kaki. Karena ia mempergunakannya keempat-empatnya untuk berjalan. Walaupun sebenarnya ada dua tangan di bagian depan dan dua kaki di bagian belakang. Koro biasanya hidup berkelompok. Bahkan mereka tampak seperti punya geng-geng tertentu. Koro masih sebangsa dengan monyet atau kera. Tapi karena ukurannya yang lebih kecil, sehingga masyarakat menyebutnya dengan Koro.

Suatu hari, Koro dengan rombongannya nekat menyeberangi jalan raya yang biasanya ramai dilalui orang maupun kendaraan. Tentu saja mereka bukan ingin berdemo apalagi membuat kerusuhan. Mereka hanya ingin mencari makan. Tapi kali ini sasarannya adalah kebun coklat milik Pak Burhan yang di dalamnya juga ada tanaman pisang, alpokat, durian, jengkol dan lain-lain. 

Koro nampak sangat bersemangat, satu persatu pohon ditapakinya. Sesekali terdengar cekikikan sang koordinator lapangannya. Mereka saling sahut-menyahut panggilan satu sama lainnya. 

 Sementara itu, Pak Burhan baru menyadari bahwa kebunnya sudah diserbu oleh rombongan Koro. Bergegas ia berlari menuju kawasan yang sudah dikuasai Koro tadi. Dengan segenap tenaga ia mencoba melempari Koro dengan sebongkah batu kecil seukuran tinju seorang balita. 

                Namun, entah mengapa lemparannya selalu meleset. Tangannya terasa berat saat diayunkan, seakan-akan ada yang menahannya. Koro terdengar semakin cekikikan seakan menertawakan Pak Burhan. Dengan sedikit bermalas-malasan, sambil membawa beberapa buah coklat yang ranum, mereka pun beranjak ke dahan yang lebih tinggi. Mungkin mereka yakin, lemparan Pak Burhan tidak akan sampai kesitu.

                Pak Burhan tambah kesal melihat tindakan Koro yang memprovokasinya. Ia kembali mengambil sepotong kayu dan berusaha kembali melemparkannya ke arah kerumunan Koro. Ternyata tepat dugaan Koro. Lemparannya tak mencapai posisi Koro. Tak ada Koro yang terkena lemparan tersebut. Mereka terus saja menikmati buah coklat yang asam manis itu di atas ketinggian. Bahkan sang komandan nampak seperti mencibir ke arah Pak Burhan.

                Pak Burhan sejenak beristirahat, menenangkan diri dan nafasnya yang sudah terengah-engah. Segera ia duduk di atas sebongkah batu yang besar dengan beralaskan sendal jepitnya. Ia terus memandang ke arah kerumunan Koro. Di tengah kekesalannya tadi, Pak Burhan memperhatikan dengan seksama seekor Koro yang posisinya tidak begitu jauh darinya. Tiba-tiba Koro tadi berubah menjadi seorang gadis remaja belia. Pak Burhan berusaha mengucek-ngucek matanya. Ia tidak yakin, bagaimana mungkin seekor Koro berubah menjadi gadis yang sangat cantik.

                “Pak Burhan, maaf kami telah mamasuki kebunmu dan memakan buah-buahanmu tanpa izin”. Sahut Koro cantik tersebut. Pak Burhan tampak ternganga dan termanggu mendengar Koro cantik berbicara kepadanya. Ia masih tidak habis pikir, bagaimana Koro bisa berbicara kepadanya. Bagaimana ia bisa paham dengan pembicaraan sang Koro cantik tersebut. Bagaimana Ia tahu namanya.

                Belum sempat Pak Burhan menjawab, Sang Koro cantik kembali melanjutkan pembicaraannya. “Pak Burhan, tahu kah kamu..? sebelum bangsamu memasuki kawasan ini, membangun rumah-rumah di tempat ini, menguasai kebun-kebun di daerah sini. Ini merupakan wilayah kekuasaan kelompok kami...! Di sinilah kami membesarkan dan mengasuh anak-anak kami. Di tempat inilah kami mencari makan. Di hutan inilah kami dahulunya bercengkerama sesama kami. Tapi sekarang, lihatlah...! pohon-pohon tinggi yang jadi rumah kami sudah habis kalian tebangi. Kami makin sengsara setelah kedatangan bangsa kalian ke sini. Makanan susah, tempat bermain kami hancur binasa tak ada lagi tersisa. Sungguh betapa rakusnya bangsa kalian. Kami saja yang binatang, yang terkenal dengan kerakusannya, ternyata tidak serakus kalian bangsa manusia...!”. Lihatlah! Kami dari dulu sampai sekarang, bahkan sampai kiamat nanti hanya makan dedauan dan buah-buahan saja. Tapi kalian bangsa Manusia ada yang makan semen, ada yang makan batu, ada yang makan jalan, ada yang makan tanah dan sebagainya tergantung profesi kalian. Kalian sering memakan sesuatu yang jelas-jelas bukan hak kalian !” Demikianlah sebuah orasi yang berapi-api yang disampaikan oleh seekor Koro cantik dari panggung pohonnya.

                Pak Burhan nampak tambah kesal dan  jengkel. Ia marah tetapi juga sedih mendengar orasi Koro cantik tadi. Ingin rasanya ia melempar kembali Koro tadi. Tapi kali ini tidak menggunakan batu atau kayu lagi. Ia justru melempari Koro dengan buah pisang ranum yang sudah berceceran karena dipetik kawanan Koro cantik tadi. Semakin ia berusaha melempar, semakin berat tangannya terasa. Kakinya seolah berat untuk dibawa melangkah, tangannya terasa berat untuk diayunkan. Keringat mengalir bercucuran. Nafasnya semakin tersengal. Dadanya terasa sesak. Ingin ia berteriak tapi suaranya tak mau keluar.

                “Ayah... ayah... ayah...”
           “Bangun ayah... sudah subuh...”.  

Terdengar sayup-sayup suara seorang bocah berusaha membangunkan Pak Burhan dari tidurnya. Matanya terasa sulit untuk dibuka. Badannya terasa penat. Tangannya terasa sakit karena sejak beberapa lama terhimpit oleh badannya sendiri. 

                “Astaghfirullah... ternyata aku Cuma mimpi”. Gumamnya setengah berbisik.
                 “apa yah...? Ayah bermimpi ketemu bidadari cantik ya...?” Goda si bungsu.
                “ahh... kamu..” jawab ayah sambil mencium pipi anaknya.
            “yuk kita berwudhuk dulu, untuk shalat subuh” Ucap sang Ayah mengalihkan pembicaraan sambil berjalan menuju kamar mandi sambil menggendong anaknya yang ingin bermanja-manja dengan ayahnya. Sepanjang perjalanannya menuju kamar mandi, Pak Burhan masih saja merenungkan kata-kata sang Koro cantik yang ia buru-buru selama ini. Ada juga benarnya Koro cantik itu pikirnya. Ternyata masih banyak manusia yang lebih rakus pula dari pada Koro.

#KMOSeptember
#SahabatMenulisAlineaku



Musim Cerai, Sepenggal Kisah di Warung Kopi

Mak Sutan hanya diam memperhatikan Etek Biyai dari balik kaca etalase warung kopinya. “Terima kasih, Tek Biyai.” Sahut Angku Kali sam...