Memburu Koro cantik
CERPEN
By Sutan Mudo
Dari Sudut Danau
Cinto
Koro,
begitulah masyarakat di sekitaran Danau Singkarak menyebutnya. Makhluk berbulu
lebat berwarna keabu-abuan ini biasanya banyak menghabiskan hidupnya
bergelantungan di atas pohon. Badannya terlihat ramping dan langsing, kaki dan
tangannya hampir sama panjang. Bahkan ukuran kaki dan tangannya juga tidak jauh
berbeda. Sekilas pandang, ia tampak memiliki empat kaki. Karena ia
mempergunakannya keempat-empatnya untuk berjalan. Walaupun sebenarnya ada dua
tangan di bagian depan dan dua kaki di bagian belakang. Koro biasanya hidup
berkelompok. Bahkan mereka tampak seperti punya geng-geng tertentu. Koro masih
sebangsa dengan monyet atau kera. Tapi karena ukurannya yang lebih kecil,
sehingga masyarakat menyebutnya dengan Koro.
Suatu hari, Koro
dengan rombongannya nekat menyeberangi jalan raya yang biasanya ramai dilalui
orang maupun kendaraan. Tentu saja mereka bukan ingin berdemo apalagi membuat
kerusuhan. Mereka hanya ingin mencari makan. Tapi kali ini sasarannya adalah
kebun coklat milik Pak Burhan yang di dalamnya juga ada tanaman pisang,
alpokat, durian, jengkol dan lain-lain.
Koro nampak
sangat bersemangat, satu persatu pohon ditapakinya. Sesekali terdengar
cekikikan sang koordinator lapangannya. Mereka saling sahut-menyahut panggilan
satu sama lainnya.
Sementara itu, Pak Burhan baru menyadari bahwa
kebunnya sudah diserbu oleh rombongan Koro. Bergegas ia berlari menuju kawasan
yang sudah dikuasai Koro tadi. Dengan segenap tenaga ia mencoba melempari Koro
dengan sebongkah batu kecil seukuran tinju seorang balita.
Namun,
entah mengapa lemparannya selalu meleset. Tangannya terasa berat saat
diayunkan, seakan-akan ada yang menahannya. Koro terdengar semakin cekikikan
seakan menertawakan Pak Burhan. Dengan sedikit bermalas-malasan, sambil membawa
beberapa buah coklat yang ranum, mereka pun beranjak ke dahan yang lebih
tinggi. Mungkin mereka yakin, lemparan Pak Burhan tidak akan sampai kesitu.
Pak
Burhan tambah kesal melihat tindakan Koro yang memprovokasinya. Ia kembali
mengambil sepotong kayu dan berusaha kembali melemparkannya ke arah kerumunan Koro.
Ternyata tepat dugaan Koro. Lemparannya tak mencapai posisi Koro. Tak ada Koro
yang terkena lemparan tersebut. Mereka terus saja menikmati buah coklat yang
asam manis itu di atas ketinggian. Bahkan sang komandan nampak seperti mencibir
ke arah Pak Burhan.
Pak
Burhan sejenak beristirahat, menenangkan diri dan nafasnya yang sudah
terengah-engah. Segera ia duduk di atas sebongkah batu yang besar dengan beralaskan
sendal jepitnya. Ia terus memandang ke arah kerumunan Koro. Di tengah
kekesalannya tadi, Pak Burhan memperhatikan dengan seksama seekor Koro yang
posisinya tidak begitu jauh darinya. Tiba-tiba Koro tadi berubah menjadi
seorang gadis remaja belia. Pak Burhan berusaha mengucek-ngucek matanya. Ia
tidak yakin, bagaimana mungkin seekor Koro berubah menjadi gadis yang sangat
cantik.
“Pak
Burhan, maaf kami telah mamasuki kebunmu dan memakan buah-buahanmu tanpa izin”.
Sahut Koro cantik tersebut. Pak Burhan tampak ternganga dan termanggu mendengar
Koro cantik berbicara kepadanya. Ia masih tidak habis pikir, bagaimana Koro
bisa berbicara kepadanya. Bagaimana ia bisa paham dengan pembicaraan sang Koro
cantik tersebut. Bagaimana Ia tahu namanya.
Belum
sempat Pak Burhan menjawab, Sang Koro cantik kembali melanjutkan
pembicaraannya. “Pak Burhan, tahu kah kamu..? sebelum bangsamu memasuki
kawasan ini, membangun rumah-rumah di tempat ini, menguasai kebun-kebun di
daerah sini. Ini merupakan wilayah kekuasaan kelompok kami...! Di sinilah kami
membesarkan dan mengasuh anak-anak kami. Di tempat inilah kami mencari makan.
Di hutan inilah kami dahulunya bercengkerama sesama kami. Tapi sekarang,
lihatlah...! pohon-pohon tinggi yang jadi rumah kami sudah habis kalian
tebangi. Kami makin sengsara setelah kedatangan bangsa kalian ke sini. Makanan
susah, tempat bermain kami hancur binasa tak ada lagi tersisa. Sungguh betapa
rakusnya bangsa kalian. Kami saja yang binatang, yang terkenal dengan
kerakusannya, ternyata tidak serakus kalian bangsa manusia...!”. Lihatlah! Kami
dari dulu sampai sekarang, bahkan sampai kiamat nanti hanya makan dedauan dan buah-buahan
saja. Tapi kalian bangsa Manusia ada yang makan semen, ada yang makan batu, ada
yang makan jalan, ada yang makan tanah dan sebagainya tergantung profesi
kalian. Kalian sering memakan sesuatu yang jelas-jelas bukan hak kalian !” Demikianlah
sebuah orasi yang berapi-api yang disampaikan oleh seekor Koro cantik dari
panggung pohonnya.
Pak
Burhan nampak tambah kesal dan jengkel. Ia
marah tetapi juga sedih mendengar orasi Koro cantik tadi. Ingin rasanya ia
melempar kembali Koro tadi. Tapi kali ini tidak menggunakan batu atau kayu
lagi. Ia justru melempari Koro dengan buah pisang ranum yang sudah berceceran
karena dipetik kawanan Koro cantik tadi. Semakin ia berusaha melempar, semakin
berat tangannya terasa. Kakinya seolah berat untuk dibawa melangkah, tangannya
terasa berat untuk diayunkan. Keringat mengalir bercucuran. Nafasnya semakin
tersengal. Dadanya terasa sesak. Ingin ia berteriak tapi suaranya tak mau
keluar.
“Ayah... ayah... ayah...”
“Bangun ayah... sudah subuh...”.
Terdengar
sayup-sayup suara seorang bocah berusaha membangunkan Pak Burhan dari tidurnya.
Matanya terasa sulit untuk dibuka. Badannya terasa penat. Tangannya terasa
sakit karena sejak beberapa lama terhimpit oleh badannya sendiri.
“Astaghfirullah...
ternyata aku Cuma mimpi”. Gumamnya setengah berbisik.
“apa yah...? Ayah bermimpi ketemu bidadari
cantik ya...?” Goda si bungsu.
“ahh...
kamu..” jawab ayah sambil mencium pipi anaknya.
“yuk
kita berwudhuk dulu, untuk shalat subuh” Ucap sang Ayah mengalihkan pembicaraan
sambil berjalan menuju kamar mandi sambil menggendong anaknya yang ingin
bermanja-manja dengan ayahnya. Sepanjang perjalanannya menuju kamar mandi, Pak
Burhan masih saja merenungkan kata-kata sang Koro cantik yang ia buru-buru
selama ini. Ada juga benarnya Koro cantik itu pikirnya. Ternyata masih banyak
manusia yang lebih rakus pula dari pada Koro.
#KMOSeptember
#SahabatMenulisAlineaku