Hari,
Andi, Husni dan Hani merupakan siswa kelas 2 A salah satu SMP negeri di kota
Solok Sumatera Barat. Andi adalah seorang ketua kelas, sedangkan Hari adalah
seorang ketua keamanan kelas tersebut. Disebabkan oleh kegaduhan kelas 2 A pada
hari itu, maka ketua kelas dan ketua keamanan diberi hukuman oleh Pak Budi Wali
kelas mereka untuk duduk di deret paling belakang di dekat pintu. Sehingga
mereka duduk persis di belakang Husni dan Hani. Awalnya mereka grogi juga, tapi
lama kelamaan justru menumbuhkan rasa cinta di hati Andi maupun Hani. Ini
adalah cinta monyet pertama mereka. Namun, sayangnya cinta mereka belum bisa
bersatu karena Andi justru menaruh hati pada Husni, sahabatnya Hani. Sedangkan
Hani menaruh hatinya kepada Andi. Sementara Husni belum menyadari akan hal ini.
Sehingga Hani pun menulis sepucuk surat buat Andi dan menyelipkannya di dalam
catatan puisi milik Andi yang tertinggal
di atas mejanya. Ketika Pak Budi mengadakan ulangan dadakan, seluruh catatan
dikumpulkan oleh Andi, termasuk catatan puisinya tadi. Andi tak tahu bahwa ia
salah mengumpulkan buku catatannya karena mirip dengan buku catatan
pelajarannya. Hal inilah yang membuat Hani panas dingin. Bagaimana kalau
ketahuan, tentu semua rahasianya terbongkar. Termasuk rahasia hatinya.
***
Suasana kelas 2 A pada hari itu terlihat
tidak seperti biasanya. Riuh dan heboh seperti ada pasar malam saja. Ada yang
asyik dengan kegiatan bernyanyi, menari, bercerita bahkan ada yang berlari-lari
ke sana kemari. Maklum, kelas itu dipenuhi oleh para abg yang baru saja
beranjak remaja. Ditambah pula dengan ketiadaan guru di dalam kelas karena
mereka sedang mengadakan rapat di ruangan majelis guru. Sementara itu di luar
sana, tampak matahari tak memberi ampun siapa pun yang ada di bawahnya. Jangankan angin, awan saja tak
mampu membendung teriknya sinar sang mentari. Hanya belaian bayang pohon kelapa
yang mencoba memberi kesejukkan ke dalam ruang yang sudah mau pecah itu.
Namun,
tiba-tiba terdengar dari jauh suara sepatu sayup-sayup sampai, makin lama suaranya
makin jelas dan mendekat. Para siswa mulai merapikan diri, berusaha
mengendalikan diri masing-masing. Karena mereka tahu betul itu suara sepatu
siapa dari pola suara yang ditimbulkan oleh hentakan sepatu ke lantai teras
sekolah itu. Ya, dia adalah Pak Budi. Salah seorang guru Biologi yang terkenal
killer walaupun tampangnya biasa saja. Badannya juga tidak terlalu tegap,
tetapi yang paling menarik adalah kumisnya yang bergelombang mirip kumisnya
Adolf Hitler sang otoriter. Pak Budi adalah guru yang sangat disiplin dan
disegani oleh murid-murid. Hentakkan kakinya saja terdengar seperti suara
sepatu tentara yang sedang melangkah ke medan perang. Apalagi kalau mendengar
ia berkata-kata. Walaupun tidak dengan nada yang keras, tetapi tetap saja
tajam, menyambar ke dalam hati seperti petir di siang bolong.
Suasana kelas yang tadinya riuh
dan gaduh berubah menjadi sunyi senyap, seakan-akan para siswa sedang
mengheningkan cipta. Mereka seperti terdakwa yang sedang menanti keputusan
hakim saja. Mereka terdiam, tertunduk, lesu demi mendengar kedatangan Pak Budi.
Pak Budi pun Masuk ke dalam kelas. Seperti biasa, beliau selalu menasehati
anak-anak dengan sangat bijak.
“Anak-anak..., ternyata kalian tak bisa menjaga
amanah bapak untuk tetap tenang di dalam lokal ketika bapak sedang rapat tadi.
Ternyata kalian hanya percaya kepada yang nyata saja, tapi tidak percaya kepada
yang ghaib. Bapak memang tidak selalu di sini, tapi.. bukankah malaikat selalu
mengawasi kalian semua..? tidakkah kalian yakin kalau Allah selalu memperhatikan
apa yang kalian lakukan..?”. Suasana menjadi tambah sunyi dan mencekam.
Semuanya diam seribu bahasa, tak mampu menyanggah apa yang disampaikan oleh Pak
Budi sang wali kelasnya.
“Maaf Pak..”. Andi sebagai
ketua kelas mencoba memberanikan diri memberikan sedikit penjelasan dan
pembelaan seperti seorang penasehat hukum. “Kami pada awalnya bisa tenang,
dan suasana aman terkendalai. Tetapi semenjak kelas sebelah ikut menerobos
masuk ke kelas kita lewat pintu di belakang, maka suasana tak kondusif lagi.
Semua sibuk dengan tingkah masing-masing”.
“benar pak..!” sahut Hari
sang ketua keamanan.
Pak Budi terlihat manggut-manggut
mendengar penjelasan mereka. Sementara siswa lain masih saja terpaku, mematung
menahan nafas.
“Andi...!! sebagai ketua kelas,
kamu mesti bertanggung jawab atas kegaduhan tadi !. kamu dan Hari Bapak minta
untuk duduk di barisan paling belakang di dekat pintu itu. Untuk menjaga agar
tidak ada lagi siswa kelas sebelah yang lewat di situ, paham...!”
“Tapi Pak...”
“Tidak ada tapi-tapi lagi !! potong
Pak Budi.
“Berarti kami duduk di belakang
siswi perempuan dong pak..”. Jawab Andi.
“Iya pak, ntar kami tidak
konsetrasi lagi pak..”. Sahut Hari, seakan mendukung pendapat Andi.
“Keputusan Bapak sudah bulat. Tidak
bisa diganggu gugat lagi, titik!”
“tok.. tok.. tok...” bunyi
meja guru yang dipukul Pak Budi dengan penghapus papan yang terbuat dari kayu.
Tetapi kedengarannya seperti pukulan palu hakim saja di telinga Andi dan Hari.
Tanpa berfikir panjang dan berdebat
lagi, merekapun akhirnya berkemas dari meja mereka yang terletak paling depan, untuk
segera pindah ke meja paling belakang di sisi kiri di dekat pintu. Tepatnya di
belakang Hani dan Husni.
Hani dan Husni sebenarnya juga
merasa grogi, tapi mereka tak kuasa membela Andi dan Hari, apalagi untuk
mengajukan Peninjauan kembali atas keputusan wali kelas mereka.
Hari-hari pun berlalu, minggu
berganti bahkan sudah hampir satu bulan lamanya Andi dan Hari duduk di belakang
Hani dan Husni. Dari yang awalnya keki, sekarang mereka sudah terbiasa. Ibarat
pepatah : “habis geli karena digelitik, habis bisa karena sudah biasa”. Begitu
juga Hani dan Husni. Gadis remaja kelas dua SMP yang sudah beranjak remaja.
Mereka terkadang terlihat seperti pinang dibelah dua, walau tak mirip seperti
orang kembar tapi mereka selalu bersama.
Hani
adalah anak yang rajin, meskipun secara kepintaran ia tak sepintar Husni.
Sementara Husni adalah salah seorang langganan juara di kelas dua SMP tersebut.
Andi merupakan seorang yang pendiam, tapi dipercaya teman-temannya sebagai
ketua kelas. Bahkan belakangan, ia juga terpilih sebagai ketua OSIS. Sedangkan
Hari adalah seorang remaja sintal yang berbadan tinggi dan tegap, berkulit
putih bak seorang blasteran. Karena itulah ia dipercaya teman-temannya sebagai
satpamnya kelas 2 A.
Tak terasa waktu berjalan,
lama-kelamaan mereka justru asyik mengobrol, makin lama makin akrab. Andi
sering mencari-cari alasan agar catatannya dibuatkan oleh Husni. Maklum, waktu
itu masih pakai sistem CBSA alias catat buku sampai habis. Sehingga, nyaris di setiap
catatan Andi selalu terdapat tulisan Husni.
Dan
beigitulah, setiap mata bertemu mata, ketika senyuman berbalas senyuman dan
candaan yang menggelikan sampai pada pertukaran catatan, membuat Andi seperti
di atas awan, melayang bak di bawa angin ke taman keindahan.
Rasaku ini
Ohh..
Dunia begitu indah terasa
Ku haus, kau beri minum
Ku lapar, kau bawakan makan
Panasku kau teduhkan
Dinginku kau hangatkan
Ahhh...
Rasanya dunia milik kita
Yang lain seperti menumpang
saja...
Tiada
angin tiada hujan, tiba-tiba Andi mengeluarkan puisinya. Walau hanya dari
belakang kelas, dan bukan dengan suara yang keras, hanya terdengar seperti
orang berbisik saja. Bisiak-bisiak salimpauang istilahnya, walau
berbisik tapi masih terdengar oleh orang lain.
“Dari mana datangnya lintah,
dari sawah turun ke kali.
Dari mana datangnya cinta,
dari mata turun ke hati”.
Tiba-tiba Hari pun mengeluarkan
pantunnya demi melihat Andi yang sedari tadi nampak melamun di tempat duduknya
tepat di belakang Husni. Seakan Ia bisa membaca fikiran Andi.
“Ah... kamu, biasa aja kali..” Sahut
Andi yang tiba-tiba tersintak dari lamunannya.
Sementara itu Husni dan Hasni
hanya tertawa kecil seolah mereka tak mendengar apa yang dibicarakan Andi dan
Hari. Karena mereka masih bersitunkin (berjibaku) dengan catatan
materi pelajaran Biologi pada siang itu. Baik Husni maupun Hani tak merasa
bahwa puisi dan pantun itu ditujukan kepada salah seorang di antara mereka.
Maklum, fikiran dan konsentrasi mereka masih tefokus pada materi yang
dicatatkan di papan tulis untuk dicatat kembali di dalam catatan mereka sendiri
dan juga catatan Andi dan Hari tentunya.
Begitulah, tanpa disadari oleh
Andi, ternyata hukuman yang diberikan Pak Budi justru membawa hikmah
tersendiri. Seperti sebuah sinetron Minang tempo dulu yang berjudul : “Sengsara
membawa nikmat”. “Hmmmm... bagiku ini adalah sengsara membawa cinta”. Begitu
gumamnya. Andi merasakan rasa itu makin hari makin kuat dan berkelebat dalalm
hatinya. Hati dan perasaannya selalu berdemo menuntut Andi untuk segera
menyatakannya secara berterus terang. Namun, apa hendak dikata, ia adalah
seorang yang pemalu. Ia takkan berani menyatakan gelora rasa aneh yang
belakangan selalu berkecamuk dalam dalam batinnya. Akhirnya, hanya kepada
bukulah ia bercerita dan berkisah tentang perasaannya kepada Husni. Buku
catatan yang semestinya diisi dengan catatan atau latihan yang diberikan guru,
malah penuh dengan puisi-puisi sederhana yang menggugah perasaan dan menyentuh
kalbu. Bahkan tanpa disadari, Andi makin hari makin larut dan hanyut dengan
perasaannya sendiri. Ke hilir ke mudik perasaannya membawanya pergi, tapi tetap
saja ia tak mampu mengungkapkannya.
***
Sekarang adalah Hari Senin, tepat
jam 10.00 WIB adalah jadwal kelas 2 A berolah raga di lapangan. Semua siswa
sudah menuju ke lapangan sambil menunggu kedatangan guru olah raga mereka, Pak
Hendra. Namun, Hani kembali ke kelas karena ia lupa membawa botol air
minumnnya. Setibanya dia di dekat mejanya, tampak ada sebuah buku tulis
bergambarkan bunga ranum di tengah padang tergeletak di atas meja Andi. Hani
mengambil buku itu untuk memasukkannya ke dalam laci, takutnya buku itu
tercecer atau tercampak diterpa angin atau diambil siswa lain. Hani membuka
halaman depan buku itu untuk memastikan buku itu milik siapa karena di
sampulnya tidak tertulis nama pemiliknya. Dan ternyata dugaannya benar, itu
adalah buku milik Andi. Tapi secara tak sengaja Hani membaca salah satu puisi pendek
di halaman pertamanya.
Gelora Jiwa
Rasa apakah ini..
Ku tak pernah mengalaminya
selama ini
Kuat, bergelora, berkecamuk..
Sampai kapan ku sanggup menahan
Atau akan tetap tersimpan tanpa
tersalurkan
Atau aku akan kurus bukan
karena tak makan
Ohh... Tuhan...
Kirimkan aku Malaikatmu...
Aku tak kuat terus menahan
rindu..
Aku pun tak tahu, apakah ini
hanya rasaku..
Ohh.. Robbi..
Izinkan aku mencurahkan isi
hati
Padanya dambaan hati
Padanya... Husni..
Hani
terpaku, terdiam membaca puisi yang ditulis Andi. Tak terasa air mata Hani,
ikut mengalir begitu saja. Ia juga tak mengerti kenapa bisa terjadi. Ia
tersentuh dengan puisi yang ditulis Andi. Apalagi di akhirnya ada nama sahabat
sejatinya, Husni. “Kenapa bukan aku, Hani...” gumamnya.
“Priiiiit...
priiit.. priiit...!” suara peluit Pak Hendri membuyarkan gumaman Hani. Ia
seakan terbangun dari mimpinya di siang bolong. Walau ia sendiri tak tidur. Cepat-cepat
ia masukkan buku Andi tadi ke dalam tas miliknya. Kemudian ia pun segera
meluncur ke lapangan olah raga, di mana Pak Hendri dan teman-temannya sudah
menunggu. Selanjutnya mereka pun berolah raga sesuai dengan arahan Pak Hendri
sampai jam pelajaran berakhir. Setelah itu, mereka beristirahat dan kembali masuk
ke ruang kelas untuk menerima pelajaran selanjutnya.
Tepat
pada jam 13.30 Wib, jam pelajaran terakhirpun usai. Seluruh siswa dan guru
bersiap-siap untuk kembali ke rumah masing-masing. Tak terkecuali Andi, Hani,
Husni dan Hari. Andi tampak seperti orang kebingungan, ia melongo ke sana-sini
seperti kambing di atas atap rumah. Ia mencari-cari sesuatu yang hilang di atas
mejanya. Mau bertanya pun agak merasa malu, mengingat isinya adalah puisi-puisi
curahan hatinya. Ia takkan berani bertanya kepada Husni, walau selama ini
memang Husnilah yang sering membawakan buku catatan pelajarannya. Kali ini ia
benar-benar merasa mati kutu, kalau saja buku itu dibawa dan dibaca oleh Husni.
Bagaimana nanti responnya?, akankah dia akan marah, sedih, bersimpati, cuek, atau
malah menertawakan dirinya. Atau jangan-jangan buku itu ditemukan dan dibaca
oleh teman-teman yang lain, dan...., entahlah begitu campur aduk rasanya bagi
Andi.
Sementara
itu, Hani juga salah tingkah melihat gelagat Andi. Ia yang selama ini sering
mencuri-curi perhatian Andi, tapi justru Husni yang ada dalam hatinya. “Apa
hendak dikata, ternyata aku hanya penggemar gelapmu, ku tak pernah singgah di
hatimu”. Gumam batinnya. Namun ia, mencoba tenang dan berfikir jernih. Ia
mencoba berunding dengan hatinya.
“Hani, kamu boleh saja menaruh
rasa pada Andi, tapi ingat Andi tak merasakan yang sama kepadamu. Ingat...!
cinta itu harus memiliki. Kau harus rela berkorban demi kebahagian orang yang
kau cintai, meski bukan bersama dirimu. Berusahalah, bantu Andi mewujudkan
angannya bersama Husni”. Bisik hatinya. “Lalu bagaimana dengan
perasaanku sendiri...?!” ujar perasaannya.
Akhirnya
hari itu, mereka pun pulang membawa hati dan perasaan masing-masing. Husni
tampak tenang dan santai saja seperti biasa. Sementara Andi dan Hani pulang
membawa sejuta kegalauan. Husni pun pasti bisa tidur tenang malam ini, karena
ia tak membawa beban saat pulang sekolah tadi. Sementara bagi Hani dan Andi,
begitu berat beban yang mereka pikul. Bahkan mereka belum pernah membawa beban
itu selama ini.
***
Malam
itu, setelah selesai Shalat ‘Isya dan makan malam, Hani pun masuk ke dalam
kamar tidurnya. Kamar dengan ukuran 3 x 3 meter itu biasanya sudah terasa
lapang bagi seorang remaja seumurnya. Tapi entah kenapa kini terasa sesak dan
sempit saja. Seakan ada sesuatu yang memenuhi ruangan kamar itu. Akhirnya, ia
pun dengan gontainya duduk di sebuah kursi kayu yang sudah mulai tampak usang.
Dia duduk di depan jendela yang sengaja dibukanya kembali. Di luar sana tampak
sang rembulan seakan ingin menampung curahan hatinya. Suara jangkrik dan katak
dari belakang rumahnya yang terletak di tepi sawah itu seakan berusaha
menghiburnya. Lama ia bernegosiasi dengan hati dan perasaannya.
Akhirnya,
ia pun memberanikan diri untuk mencurahkan isi hatinya pada secarik kertas
berwarna-warni dan berbunga-bunga. Kertas itu juga tercium harum seperti diberi
parfum. Beginilah curahan hati yang ditulisnya :
Dear
Honey, Andi.
Sebelumnya
aku minta maaf, sudah memanggilmu dengan honey, dan sudah berani menulis surat
ini untukmu. Aku juga sudah membawa buku catatan hatimu pulang ke rumahku. Aku
tak bermaksud jahat terhadapmu. Aku hanya bermaksud menyelamatkannya. Aku juga
secara tidak sengaja telah membaca puisi-puisi curahan hatimu. Aku terharu,
sekaligus terenyuh. Aku tak menyangka, kamu menaruh hati pada sahabatku sendiri.
Padahal aku juga menaruh harapan padamu, kelak kau mau menjadi tambatan hatiku.
Mengisi kekosongan hati ini.
Tapi,
aku sadar sekarang. Perasaan dan isi hati kita tak sama. Aku inginkan dirimu,
sementara kau malah inginkan sahabatku. Aku hanya berharap kau bisa berbahagia
bersamanya. Biarlah rasa ini kan ku simpan jauh di lubuk hatiku. Bagiku
bahagiamu, bahagianya adalah bahagiaku juga. Biarlah, aku siap jadi jembatan
yang akan menghubungkan hatimu dengan hatinya.
Walaupun
pedih di hatiku, aku relakan demi kebahagiaan pujaan hatiku. Meski bukan
denganku, karena cinta tak harus memiliki. Biarkanlah aku jadi pengagum
rahasiamu. Aku akan selalu memperhatikanmu, menjagamu. Mudah-mudahan suatu saat
nanti, kamu bisa menerima rasaku ini dan mengisi relung hatiku.
Dari : Pengagum Rahasiamu, ku
berharap engkau mengerti aku.
Begitulah
surat yang ditulis Hani, sebuah surat kaleng tanpa pengirim yang jelas. Surat
itu dilipat dengan sedemikian rupa sehingga sekilas tampak seperti dua buah
segitiga yang disusun berdempetan. Lalu dimasukkan ke dalam sebuah amplop
bergambar hati yang retak. Kemudian surat itu diselipkan ke dalam buku catatan
milik Andi.
***
Keesokannya,
Hani pun berangkat ke sekolah pagi-pagi sekali. Berharap ia berharap menjadi
orang yang pertama memasuki kelas. Sesampainya di depan kelas, ia pun bergegas
masuk dan menuju meja Andi. Dengan sedikit rasa bimbang, ia pun meletakkan buku
Andi ke dalam lacinya. Dan bergegas pula ia berjalan keluar dan kembali ke
jalan di depan sekolahnya. Beruntung tidak ada teman-temannya yang melihatnya
masuk ke kelas tadi. Ia pun berpura-pura, seakan-akan baru saja ia turun dari
angkutan umum dari desanya. Dan ia pun menunggu kedatangan Husni. Maklum,
mereka tinggal berlainan desa. Sehingga tidak bisa naik angkutan umum yang
sama.
Sementara
itu, dari jauh tampak Andi datang dengan mengayuh sepeda tua peninggalan
bapaknya. Ia tinggal tidak terlalu jauh dari sekolah. Hani pun menghela nafas
yang dalam, mencoba mengatur nafas dan detak jantungnya yang rasanya semakin
berdetak kencang ketika melihat kedatangan Andi. Ia tak bisa membayangkan
bagaimana nanti respon Andi setelah ia kembali menemukan buku puisi curhatnya
yang juga diselipkan selembar surat tak bertuan dari pengagum rahasianya.
“Hai...
selamat pagi Hana..!” sapa Andi
“Selamat
berbahagia Andi..”. Sahutnya, Hani keceplosan.
“Apa
Hana...?
Maaf aku tadi kurang dengar
karena kebetulan ada suara mobil yang berhenti di dekat kita”.
“Ahh..
gak apa-apa Andi. Aku mau menunggu Husni dulu, mungkin sebentar lagi dia
datang”. Jawab Hani. Ia berusaha cepat mengalihkan perhatian Andi. Karena
Andi nampaknya tidak terlalu memperhatikan ucapan Hani tadi.
“Oke
dech. Aku duluan ya ke kelasnya”
“Silahkan..
hati-hati ya...”
“Huff... nyaris saja”. Gumam
Hani dalam hatinya. Ia berhasil mengendalikan dirinya, ia bersikap seolah-olah
tidak terjadi sesuatu sebelumnya.
Tak
lama kemudian, Husni pun turun dari angkutan umum yang ditumpanginya. Hani pun
segera menghampirinya. Mereka pun segera menuju ke kelas bersama-sama dengan
teman-teman yang lain. Hani berusaha bersikap sewajarnya. Tak ada gejolak
kekecewaan dan kecemburuan di mukanya. Ibarat pepatah, walau ada harimau di
dalam hati, tapi kambing juga yang ditampakkan. Mereka berjalan, bercanda
gurau seperti biasanya.
Tepat
jam 07.30 Wib, bel sekolah berbunyi. Seluruh siswa pun masuk ke kelas
masing-masing. Suasana pagi itu terasa biasa saja bagi para siswa. Tapi tentu
tidak bagi Andi dan Hani. Andi masih penasaran dengan buku puisinya kemarin. Ia
belum menyadari kalau buku puisinya tersebut ternyata sudah ada dalam lacinya.
Sementara itu, Hani membayangkan respon Andi setelah membaca surat yang ia
tulis malam tadi.
Pak
Budi pun masuk ke kelas 2 A. Murid-murid pun bersiap-siap dan berdo’a untuk
memulai pelajaran. Dan ternyata, hari itu Pak Budi mengadakan ulangan dadakan.
Ia saban hari memang sudah mengingatkan para siswa untuk selalu bersiap-siap
dengan belajar setiap malam di rumah.
“Andi,
tolong bantu bapak mengumpulkan buku catatan teman-teman kamu”. Pinta Pak
Budi.
“Baik
Pak”. Jawab Andi singkat, dan langsung ia mengambil sebuah buku catatan
dari dalam lacinya. Karena ingin cepat, ia pun tak sempat membaca tulisan
sampul bukunya. Ia hanya berpatokan kepada gambarnya saja. Ia yakin, buku
bergambar bunga itu adalah buku catatannya. Ia pun berjalan dan mengumpulkan
satu-persatu buku catatan teman-temannya dan meletakkannya di atas meja Pak
Budi.
Hani
yang menyadari kalau Andi salah mengumpulkan catatannya semakin salah tingkah.
Ingin dia mengingatkan Andi, takut rahasianya terbongkar. Tapi ia juga tidak
mau Andi dimarahi Pak Budi karena salah mengumpulkan catatan. Apalagi kalau
sampai ketahuan ada sebuah surat kaleng berbunga di dalamnya. Sungguh panas
dingin rasanya. Jantungnya berdetak kencang seakan hendak berlari keluar.
Darahnya mengalir deras, sehingga membuat wajahnya memerah. Beruntungnya Pak
Budi masih sibuk memberikan soal ulangan kepada para siswa. Beliau belum membuka
buku-buku catatan yang dikumpulkan oleh Andi tadi.
Setelah
semua mendapatkan soal, Pak Budi mempersilahkan siswa untuk mengerjakannya
dengan tetap tenang. Sementara itu, ia mulai memeriksa satu-satu persatu buku
catatan tadi. Hani semakin dag dig dug. Ia bahkan berkeringat dingin.
“Hani.. kamu sakit ?” tanya
Andi.
“hmm..
Tidak. Hanya semalam... aku kurang tidur”. Jawab Hani sedikit grogi.
“oh..”
sambung Andi.
“Andi
!” tiba-tiba terdengar suara Pak Budi setengah berteriak memanggil Andi.
“Setelah
ini, kamu temui Bapak di ruang bapak ya”.
“Kenapa
pak?” tanya Andi keheranan
“Nanti
Bapak jelaskan”. Sahut Pak Budi
“Baik
Pak”. Jawab Andi singkat, walaupun sebenarnya masih heran dan penasaran dengan
sikap Pak Budi.
Hani
pun semakin gelisah tak karuan. Pasti Pak Budi sudah melihat surat yang ia
selipkan di buku catatan Andi tadi pikirnya. Andi pasti akan diinterogasi
habis-habisan oleh Pak Budi. Lalu bagaimana kalau nanti ketahuan oleh Pak Budi
? karena tulisan surat itu sama dengan tulisan Hani... Ahh.. rasanya mau pecah
kepalanya. Hatinya bisa hancur berkeping-keping. Belum lagi rasa malu yang
harus ditanggungnya...
Bersambung...