Selasa, 31 Desember 2019

Cinta Monyet Sang Remaja 2

 
Siang itu, jam di dinding sudah menunjukkan pukul 09.00 Wib, bel pertanda jam pelajaran pertama usai pun telah berbunyi. Sementara itu cuaca di luar sudah mulai memanas. Cahaya matahari tak lagi malu-malu dan bersembunyi di balik awan seperti halnya pagi tadi. Tapi para siswa masih bisa berlega hati, karena sekolah mereka dikelilingi oleh pepohonan yang rindang. Sehigga ruangan lokal mereka tetap terasa sejuk. Sesekali tampak sinar matahari berusaha menembus rindang dedauan hijau itu. Tampak pula bayang-bayang dedaunan yang menari-nari ditiup angin.

Sementara itu, di dalam kelas 2 A, murid-murid baru saja selesai mengerjakan ulangan harian dadakan yang diberikan Pak Budi. Udara di ruangan itu masih sejuk sebenarnya. Tapi, bagi Hani dan Andi terasa seperti berada dalam ruang pembakaran saja. Cat dinding yang berwarna hijau daun muda itu tak mampu meneduhkan hati mereka. Andi masih tak habis fikir tentang kesalahannya yang berakibat ia dipanggil Pak Budi ke ruang BK. Sementara itu Hani tak bisa membayangkan bagaimana marahnya Pak Budi nanti kepada Andi karena sepucuk surat cinta yang ia selipkan di catatannya tadi.
“Andi...!” Pak Budi memanggil Andi, seakan mengingatkan perkataannya di awal jam pelajaran tadi.
“Ya Pak! Saya akan segera ke sana Pak.” Jawab Andi
“Andi, maaf ya! Karena Aku, kamu dipanggil Pak Budi ke ruang BK.” Sela Hani
“Tapi kenapa emangnya Hani?” Andi makin penasaran
“Iya, soalnya tadi...” 
“Kenapa tadi Hani?”
Belum sempat Hani menjawab pertanyaan Andi, terlihat Pak Budi sudah kembali menoleh ke arah mereka. Dan bergegas Andi menuju ke ruang BK bersama Pak Budi. Begitu sampai di ruangan yang juga dicat berwarna hijau daun muda dan tampak asri itu Andi hanya tertegun. Baru kali ini ia merasakan suasana ruangan BK. Di sana ada sebuah lemari kaca seperti sebuah etalase tempat menyimpan berkas-berkas siswa yang berkasus selama ini. Di dindingnya tergantung dua buah photo yang diletakkan dengan sejajar, yaitu Photo Presiden dan Wakilnya. Sementara itu, jendelanya nampak ditutupi dengan tirai putih dengan motif bunga mawar yang tertata rapi. Di tengah ruangan, ada sebuah meja kayu berwarna coklat terang yang di atasnya ditutup dengan kaca tebal yang bergambar ikan emas yang sedang berenang di sebuah telaga yang jernih. Di atasnya, tampak sebuah bungan mawar plastik yang berwarna merah terang. Di dekat meja, satu buah kursi kayu Jati dengan warna yang seirama dengan warna mejanya. Selain itu, ada juga satu buah kursi panjang untuk tempat duduk siswa yang berurusan dengan guru BK. 

“Assalamu’alaikum Pak.” Sapa Andi begitu memasuki ruangan BK.
“Wa’alaikumussalam. Silahkan masuk Andi !”
“Maaf Pak, ada apa ya Bapak memanggil saya ke sini?”
“Begini, Kamu tahu kan, ini surat apa?”
“Ya tahulah Pak !”
“Lalu, kamu tahu siapa yang mengirimnya kepadamu?”
“Maaf Pak !, Saya benar-benar tidak tahu soal surat itu Pak.”
“Terus, kenapa bisa ada dalam catatanmu, Andi?”
“Saya juga tidak tahu Pak, Saya juga kehilangan buku catatan itu sejak kemarin Pak. Nah, tiba-tiba tadi pas saya akan mengumpulkan catatan, buku itu sudah ada dalam laci meja saya Pak, makanya saya kumpulkan saja.”
“Ohh begitu! Sekarang bagaimana kalau surat ini kita buka saja? Supaya jelas apa isinya dan siapa yang menulisnya” Pak Andi memintanya dengan hati-hati agar Andi bisa berbicara dengan terbuka tanpa ada yang ditutupi.
“Bb.. Baiklah Pak !” Jawab Andi sedikit gugup bercampur penasaran.
Pak Andi pun membuka dan membaca surat itu dalam hati di hadapan Andi. Andi dengan sendirinya juga membaca surat itu, karena sengaja surat itu diletakkan Pak Budi di atas meja.
“Andi... Andi... ternyata kamu punya pengagum rahasia nih!” Sahut Pak Budi
“Hmmm... lalu, Apa Hubungannya dengan Husni ya?” Tanya Pak Budi
“Maaf Pak, Saya juga belum paham Pak. Bagaimana kalau Husni juga dipanggil ke sini Pak, mana tahu Dia punya informasi lain.” Jawab Andi seperti seorang negosiator ulung saja.
“Tapi, rasanya ini tulisan Hani deh Pak !”
“Lho...! dari mana kamu tahu?”
“Biasanya juga Hani dan Husni yang membantu mencatatkan materi pelajaran di catatan saya Pak, makanya saya yakin, ini adalah tulisan Hani, Pak.”
“Wah...! ketahuan kamu sekarang!”
“Jadi, Selama ini mereka yang mencatat untukmu. Pantaslah tulisannya bagus dan rapi, tidak seperti biasanya.”
“Iya sih Pak...! Habis, sejak Saya dan Hari duduk di belakang mereka, kami sering mintak tolong mereka mencatat pak. Kan kami sering sibuk mengamankan kelas, Pak.” Andi mencoba membela dirinya.
“OK. OK...! Baiklah, Bapak paham. Sekarang kamu panggil mereka berdua ke sini ya!

Andi pun bergegas menuju kelas untuk memanggil Hani dan Husni, sang suspect pengagum rahasia. Dengan tergopoh-gopoh, segera Andi menghampiri Hani dan Husni yang sedang duduk bercengkerama di dalam kelas bersama Hari dan tema-teman lainnya.

“Hmmm... Hani dan Husni ! Kamu berdua juga dipanggil Pak Budi ke ruang BK.” Sahut Andi.
“Ihh... jangan bercanda kamu Andi !” Jawab Hani seakan tak percaya
“Iya...! Kamu pikir kami senang mendengarnya?” Jawab Husni dengan ketus.
“Ya Sudah! kalau kalian berdua tidak percaya, tunggulah Pak Budi yang menjemput kalian ke sini! Baru deh kalian gak bisa berkelit lagi.”  Jawab Andi seakan tidak mau berlama-lama dengan Husni dan Hani.

“Tapi salah kami apa coba?!”
“Masa iya, tanpa ada angin, tanpa hujan trus gledek nyambar gitu aja!”

Husni makin penasaran dan ketus. Sambil terus menggerutu, Husni pun mengikuti Andi menuju ruang BK. Sementara itu Hani semakin bingung dan merasa bersalah. Karena surat kalengnya, Andi dan Husni harus berurusan dengan Pak Budi di Ruangan BK. Ruangan yang oleh siswa dianggap sebagai ruangan keramat, bahkan ada yang menyebutnya seperti ruangan sidang pengadilan saja.

di sepanjang perjalanan menuju ruangan BK, Andi dan Husni tampak makin tak sabar. rasa penasarannya semakin lama semakin membumbung tinggi. Walaupun di belakang mereka Hani justru berjalan gontai bagaikan seorang terpidana mati yang akan dieksekusi. Dia tak bisa membayangkan betapa malunya Dia nanti, dihadapan Pak Budi sang Guru BK sekaligus Wali kelasnya. Ada Andi yang dikaguminya selama ini walaupun secara diam-diam saja. Ada Husni yang tak lain adalah sahabat dekatnya yang tanpa disadarinya, telah membuat Andi jatuh cinta kepadanya. Bagaimana nanti nasib persahabatan mereka?
“Ohh... Tuhan...” Gumamnya.

“Silahkan Masuk !”. Sambut Pak Budi begitu mereka sampai di depan pintu ruangan BK.
Setelah Andi, Husni dan Hani duduk di kursi persakitan itu, Pak Budi menjelaskan perihal surat yang terselip di buku catatan milik Andi. Kemudian Dia membuka sepucuk surat berwarna pink dan bergambar bunga tersebut di hadapan mereka. Belum sempat Pak Budi membacakan surat tersebut, buru-buru Hani mengakui perihal surat itu.

“Tunggu, Pak! Saya berharap Bapak tidak membacakan surat itu, karena jujur saja Sayalah yang menulis surat tak bertuan itu Pak. Saya sebenarnya menaruh hati pada Andi, tapi Andi justru menitip hatinya pada Husni, sahabat saya sendiri. Saya kecewa Pak... tapi saya juga berharap, Husni bisa menerima cintanya Andi. Maafkan Aku Andi, Husni. Karena Aku kalian mendapat masalah seperti ini. Aku memang salah, tapi aku juga tidak kuat menahan rasa yang bergelora ini. Aku tak kuasa...” Tanpa diminta, Hani menumpahkan isi hatinya. Sekarang Dia merasa lega. Walaupun belum tahu bagaimana reaksi Pak Budi dan teman-temannya nantinya.
“Nah... itu dia ! cinta itu ibarat kentut, kalau ditahan bikin sakit perut, kalau dibuang orang pada ribut... ha ha ha...!” Pak Budi justru menanggapinya dengan sedikit berseloroh yang membuat seisi ruangan menjadi sedikit riuh.
“Ya.. ya.. ya... Bapak paham. Hmmm... Sekarang bagaimana tanggapanmu Husni?” Tiba-tiba pertanyaan Pak Budi mengarah pada Husni.
“Maaf Pak! Andi, Hani... Kayaknya aku tidak terlibat langsung deh dengan persoalan kalian berdua.” Sahut Husni singkat
“Tapi gak bisa gitu juga kali...!” Jawab Andi
“Iya Husni...! Masa iya Kamu gak mau aja gitu? Walau bagaimana pun Kamu juga harus bersikap adil dong.” Sambung Hani
“Tapi Aku memang gak ada rasa apa-apa selama ini, Aku menganggap kalian berdua itu, ya sahabatku. Tak lebih. Jadi Kalian harus bisa ngertiin aku juga dong!” Jawab Husni
“Tapi...” belum sempat Hani melanjutkan, sudah dipotong oleh Pak Budi.
“Ya sudah... Tak perlu juga kalian ribut memperpanjang persoalan hati ini. Bapak punya saran nih, mau gak!
“Mau mau mau, Pak!” Jawab Andi penuh semangat
“Begini, rasa cinta itu sebenarnya normal. Wajar saja, karena kalian kan sudah remaja. Tapi ya harus dikendalikan dengan baik. Harus disalurkan kepada hal-hal yang positif. Supaya belajar kalian tidak terganggu. Misalnya nih, kalian bisa berolahraga, membaca cerita, mengikuti kegiatan-kegiatan ekstra kurikuler dan lain-lain. Pokoknya harus ada kegiatan yang melibatkan fisik dan emosi sekaligus. Nanti kalau sudah waktunya, kalian sudah dewasa baru deh kalian persiapkan dan selesaikan urusan percintaan ini. Bagaimana, Deal?”
“OK dech, Pak! Akan kami coba.” Jawab Andi, Husni dan Hani Serentak
“Baiklah, Silahkan kalian kembali ke kelas. Jangan lupa pesan Bapak tadi ya!”
“Baik Pak. Assalamu’alaikum.”
“wa’alaikumussalam.”

Cinta Monyet Sang Remaja 1


                Hari, Andi, Husni dan Hani merupakan siswa kelas 2 A salah satu SMP negeri di kota Solok Sumatera Barat. Andi adalah seorang ketua kelas, sedangkan Hari adalah seorang ketua keamanan kelas tersebut. Disebabkan oleh kegaduhan kelas 2 A pada hari itu, maka ketua kelas dan ketua keamanan diberi hukuman oleh Pak Budi Wali kelas mereka untuk duduk di deret paling belakang di dekat pintu. Sehingga mereka duduk persis di belakang Husni dan Hani. Awalnya mereka grogi juga, tapi lama kelamaan justru menumbuhkan rasa cinta di hati Andi maupun Hani. Ini adalah cinta monyet pertama mereka. Namun, sayangnya cinta mereka belum bisa bersatu karena Andi justru menaruh hati pada Husni, sahabatnya Hani. Sedangkan Hani menaruh hatinya kepada Andi. Sementara Husni belum menyadari akan hal ini. Sehingga Hani pun menulis sepucuk surat buat Andi dan menyelipkannya di dalam catatan puisi milik  Andi yang tertinggal di atas mejanya. Ketika Pak Budi mengadakan ulangan dadakan, seluruh catatan dikumpulkan oleh Andi, termasuk catatan puisinya tadi. Andi tak tahu bahwa ia salah mengumpulkan buku catatannya karena mirip dengan buku catatan pelajarannya. Hal inilah yang membuat Hani panas dingin. Bagaimana kalau ketahuan, tentu semua rahasianya terbongkar. Termasuk rahasia hatinya.

***



Suasana kelas 2 A pada hari itu terlihat tidak seperti biasanya. Riuh dan heboh seperti ada pasar malam saja. Ada yang asyik dengan kegiatan bernyanyi, menari, bercerita bahkan ada yang berlari-lari ke sana kemari. Maklum, kelas itu dipenuhi oleh para abg yang baru saja beranjak remaja. Ditambah pula dengan ketiadaan guru di dalam kelas karena mereka sedang mengadakan rapat di ruangan majelis guru. Sementara itu di luar sana, tampak matahari tak memberi ampun siapa pun yang ada di  bawahnya. Jangankan angin, awan saja tak mampu membendung teriknya sinar sang mentari. Hanya belaian bayang pohon kelapa yang mencoba memberi kesejukkan ke dalam ruang yang sudah mau pecah itu.

                Namun, tiba-tiba terdengar dari jauh suara sepatu sayup-sayup sampai, makin lama suaranya makin jelas dan mendekat. Para siswa mulai merapikan diri, berusaha mengendalikan diri masing-masing. Karena mereka tahu betul itu suara sepatu siapa dari pola suara yang ditimbulkan oleh hentakan sepatu ke lantai teras sekolah itu. Ya, dia adalah Pak Budi. Salah seorang guru Biologi yang terkenal killer walaupun tampangnya biasa saja. Badannya juga tidak terlalu tegap, tetapi yang paling menarik adalah kumisnya yang bergelombang mirip kumisnya Adolf Hitler sang otoriter. Pak Budi adalah guru yang sangat disiplin dan disegani oleh murid-murid. Hentakkan kakinya saja terdengar seperti suara sepatu tentara yang sedang melangkah ke medan perang. Apalagi kalau mendengar ia berkata-kata. Walaupun tidak dengan nada yang keras, tetapi tetap saja tajam, menyambar ke dalam hati seperti petir di siang bolong.

                Suasana kelas yang tadinya riuh dan gaduh berubah menjadi sunyi senyap, seakan-akan para siswa sedang mengheningkan cipta. Mereka seperti terdakwa yang sedang menanti keputusan hakim saja. Mereka terdiam, tertunduk, lesu demi mendengar kedatangan Pak Budi. Pak Budi pun Masuk ke dalam kelas. Seperti biasa, beliau selalu menasehati anak-anak dengan sangat bijak.
“Anak-anak..., ternyata kalian tak bisa menjaga amanah bapak untuk tetap tenang di dalam lokal ketika bapak sedang rapat tadi. Ternyata kalian hanya percaya kepada yang nyata saja, tapi tidak percaya kepada yang ghaib. Bapak memang tidak selalu di sini, tapi.. bukankah malaikat selalu mengawasi kalian semua..? tidakkah kalian yakin kalau Allah selalu memperhatikan apa yang kalian lakukan..?”. Suasana menjadi tambah sunyi dan mencekam. Semuanya diam seribu bahasa, tak mampu menyanggah apa yang disampaikan oleh Pak Budi sang wali kelasnya. 

“Maaf Pak..”. Andi sebagai ketua kelas mencoba memberanikan diri memberikan sedikit penjelasan dan pembelaan seperti seorang penasehat hukum. “Kami pada awalnya bisa tenang, dan suasana aman terkendalai. Tetapi semenjak kelas sebelah ikut menerobos masuk ke kelas kita lewat pintu di belakang, maka suasana tak kondusif lagi. Semua sibuk dengan tingkah masing-masing”.
“benar pak..!” sahut Hari sang ketua keamanan. 

Pak Budi terlihat manggut-manggut mendengar penjelasan mereka. Sementara siswa lain masih saja terpaku, mematung menahan nafas.

“Andi...!! sebagai ketua kelas, kamu mesti bertanggung jawab atas kegaduhan tadi !. kamu dan Hari Bapak minta untuk duduk di barisan paling belakang di dekat pintu itu. Untuk menjaga agar tidak ada lagi siswa kelas sebelah yang lewat di situ, paham...!”
“Tapi Pak...”
“Tidak ada tapi-tapi lagi !! potong Pak Budi.
“Berarti kami duduk di belakang siswi perempuan dong pak..”. Jawab Andi.
“Iya pak, ntar kami tidak konsetrasi lagi pak..”. Sahut Hari, seakan mendukung pendapat Andi.
“Keputusan Bapak sudah bulat. Tidak bisa diganggu gugat lagi, titik!”
“tok.. tok.. tok...” bunyi meja guru yang dipukul Pak Budi dengan penghapus papan yang terbuat dari kayu. Tetapi kedengarannya seperti pukulan palu hakim saja di telinga Andi dan Hari. 

Tanpa berfikir panjang dan berdebat lagi, merekapun akhirnya berkemas dari meja mereka yang terletak paling depan, untuk segera pindah ke meja paling belakang di sisi kiri di dekat pintu. Tepatnya di belakang Hani dan Husni. 

Hani dan Husni sebenarnya juga merasa grogi, tapi mereka tak kuasa membela Andi dan Hari, apalagi untuk mengajukan Peninjauan kembali atas keputusan wali kelas mereka. 

Hari-hari pun berlalu, minggu berganti bahkan sudah hampir satu bulan lamanya Andi dan Hari duduk di belakang Hani dan Husni. Dari yang awalnya keki, sekarang mereka sudah terbiasa. Ibarat pepatah : “habis geli karena digelitik, habis bisa karena sudah biasa”. Begitu juga Hani dan Husni. Gadis remaja kelas dua SMP yang sudah beranjak remaja. Mereka terkadang terlihat seperti pinang dibelah dua, walau tak mirip seperti orang kembar tapi mereka selalu bersama. 

           Hani adalah anak yang rajin, meskipun secara kepintaran ia tak sepintar Husni. Sementara Husni adalah salah seorang langganan juara di kelas dua SMP tersebut. Andi merupakan seorang yang pendiam, tapi dipercaya teman-temannya sebagai ketua kelas. Bahkan belakangan, ia juga terpilih sebagai ketua OSIS. Sedangkan Hari adalah seorang remaja sintal yang berbadan tinggi dan tegap, berkulit putih bak seorang blasteran. Karena itulah ia dipercaya teman-temannya sebagai satpamnya kelas 2 A.

Tak terasa waktu berjalan, lama-kelamaan mereka justru asyik mengobrol, makin lama makin akrab. Andi sering mencari-cari alasan agar catatannya dibuatkan oleh Husni. Maklum, waktu itu masih pakai sistem CBSA alias catat buku sampai habis. Sehingga, nyaris di setiap catatan Andi selalu terdapat tulisan Husni.

            Dan beigitulah, setiap mata bertemu mata, ketika senyuman berbalas senyuman dan candaan yang menggelikan sampai pada pertukaran catatan, membuat Andi seperti di atas awan, melayang bak di bawa angin ke taman keindahan.

Rasaku ini

Ohh..
Dunia begitu indah terasa
Ku haus, kau beri minum
Ku lapar, kau bawakan makan
Panasku kau teduhkan
Dinginku kau hangatkan
Ahhh...
Rasanya dunia milik kita
Yang lain seperti menumpang saja...

                Tiada angin tiada hujan, tiba-tiba Andi mengeluarkan puisinya. Walau hanya dari belakang kelas, dan bukan dengan suara yang keras, hanya terdengar seperti orang berbisik saja. Bisiak-bisiak salimpauang istilahnya, walau berbisik tapi masih terdengar oleh orang lain.

“Dari mana datangnya lintah,
dari sawah turun ke kali.
Dari mana datangnya cinta,
dari mata turun ke hati”.

Tiba-tiba Hari pun mengeluarkan pantunnya demi melihat Andi yang sedari tadi nampak melamun di tempat duduknya tepat di belakang Husni. Seakan Ia bisa membaca fikiran Andi. 

“Ah... kamu, biasa aja kali..” Sahut Andi yang tiba-tiba tersintak dari lamunannya.
Sementara itu Husni dan Hasni hanya tertawa kecil seolah mereka tak mendengar apa yang dibicarakan Andi dan Hari. Karena mereka masih bersitunkin (berjibaku) dengan catatan materi pelajaran Biologi pada siang itu. Baik Husni maupun Hani tak merasa bahwa puisi dan pantun itu ditujukan kepada salah seorang di antara mereka. Maklum, fikiran dan konsentrasi mereka masih tefokus pada materi yang dicatatkan di papan tulis untuk dicatat kembali di dalam catatan mereka sendiri dan juga catatan Andi dan Hari tentunya.

Begitulah, tanpa disadari oleh Andi, ternyata hukuman yang diberikan Pak Budi justru membawa hikmah tersendiri. Seperti sebuah sinetron Minang tempo dulu yang berjudul : “Sengsara membawa nikmat”. “Hmmmm... bagiku ini adalah sengsara membawa cinta”. Begitu gumamnya. Andi merasakan rasa itu makin hari makin kuat dan berkelebat dalalm hatinya. Hati dan perasaannya selalu berdemo menuntut Andi untuk segera menyatakannya secara berterus terang. Namun, apa hendak dikata, ia adalah seorang yang pemalu. Ia takkan berani menyatakan gelora rasa aneh yang belakangan selalu berkecamuk dalam dalam batinnya. Akhirnya, hanya kepada bukulah ia bercerita dan berkisah tentang perasaannya kepada Husni. Buku catatan yang semestinya diisi dengan catatan atau latihan yang diberikan guru, malah penuh dengan puisi-puisi sederhana yang menggugah perasaan dan menyentuh kalbu. Bahkan tanpa disadari, Andi makin hari makin larut dan hanyut dengan perasaannya sendiri. Ke hilir ke mudik perasaannya membawanya pergi, tapi tetap saja ia tak mampu mengungkapkannya.

***

Sekarang adalah Hari Senin, tepat jam 10.00 WIB adalah jadwal kelas 2 A berolah raga di lapangan. Semua siswa sudah menuju ke lapangan sambil menunggu kedatangan guru olah raga mereka, Pak Hendra. Namun, Hani kembali ke kelas karena ia lupa membawa botol air minumnnya. Setibanya dia di dekat mejanya, tampak ada sebuah buku tulis bergambarkan bunga ranum di tengah padang tergeletak di atas meja Andi. Hani mengambil buku itu untuk memasukkannya ke dalam laci, takutnya buku itu tercecer atau tercampak diterpa angin atau diambil siswa lain. Hani membuka halaman depan buku itu untuk memastikan buku itu milik siapa karena di sampulnya tidak tertulis nama pemiliknya. Dan ternyata dugaannya benar, itu adalah buku milik Andi. Tapi secara tak sengaja Hani membaca salah satu puisi pendek di halaman pertamanya.

Gelora Jiwa

Rasa apakah ini..
Ku tak pernah mengalaminya selama ini
Kuat, bergelora, berkecamuk..
Sampai kapan ku sanggup menahan
Atau akan tetap tersimpan tanpa tersalurkan
Atau aku akan kurus bukan karena tak makan
Ohh... Tuhan...
Kirimkan aku Malaikatmu...
Aku tak kuat terus menahan rindu..
Aku pun tak tahu, apakah ini hanya rasaku..
Ohh.. Robbi..
Izinkan aku mencurahkan isi hati
Padanya dambaan hati
Padanya... Husni..

                Hani terpaku, terdiam membaca puisi yang ditulis Andi. Tak terasa air mata Hani, ikut mengalir begitu saja. Ia juga tak mengerti kenapa bisa terjadi. Ia tersentuh dengan puisi yang ditulis Andi. Apalagi di akhirnya ada nama sahabat sejatinya, Husni. “Kenapa bukan aku, Hani...” gumamnya.

                Priiiiit... priiit.. priiit...!” suara peluit Pak Hendri membuyarkan gumaman Hani. Ia seakan terbangun dari mimpinya di siang bolong. Walau ia sendiri tak tidur. Cepat-cepat ia masukkan buku Andi tadi ke dalam tas miliknya. Kemudian ia pun segera meluncur ke lapangan olah raga, di mana Pak Hendri dan teman-temannya sudah menunggu. Selanjutnya mereka pun berolah raga sesuai dengan arahan Pak Hendri sampai jam pelajaran berakhir. Setelah itu, mereka beristirahat dan kembali masuk ke ruang kelas untuk menerima pelajaran selanjutnya. 

                Tepat pada jam 13.30 Wib, jam pelajaran terakhirpun usai. Seluruh siswa dan guru bersiap-siap untuk kembali ke rumah masing-masing. Tak terkecuali Andi, Hani, Husni dan Hari. Andi tampak seperti orang kebingungan, ia melongo ke sana-sini seperti kambing di atas atap rumah. Ia mencari-cari sesuatu yang hilang di atas mejanya. Mau bertanya pun agak merasa malu, mengingat isinya adalah puisi-puisi curahan hatinya. Ia takkan berani bertanya kepada Husni, walau selama ini memang Husnilah yang sering membawakan buku catatan pelajarannya. Kali ini ia benar-benar merasa mati kutu, kalau saja buku itu dibawa dan dibaca oleh Husni. Bagaimana nanti responnya?, akankah dia akan marah, sedih, bersimpati, cuek, atau malah menertawakan dirinya. Atau jangan-jangan buku itu ditemukan dan dibaca oleh teman-teman yang lain, dan...., entahlah begitu campur aduk rasanya bagi Andi. 

                Sementara itu, Hani juga salah tingkah melihat gelagat Andi. Ia yang selama ini sering mencuri-curi perhatian Andi, tapi justru Husni yang ada dalam hatinya. “Apa hendak dikata, ternyata aku hanya penggemar gelapmu, ku tak pernah singgah di hatimu”. Gumam batinnya. Namun ia, mencoba tenang dan berfikir jernih. Ia mencoba berunding dengan hatinya.
“Hani, kamu boleh saja menaruh rasa pada Andi, tapi ingat Andi tak merasakan yang sama kepadamu. Ingat...! cinta itu harus memiliki. Kau harus rela berkorban demi kebahagian orang yang kau cintai, meski bukan bersama dirimu. Berusahalah, bantu Andi mewujudkan angannya bersama Husni”. Bisik hatinya. “Lalu bagaimana dengan perasaanku sendiri...?!” ujar perasaannya.

                Akhirnya hari itu, mereka pun pulang membawa hati dan perasaan masing-masing. Husni tampak tenang dan santai saja seperti biasa. Sementara Andi dan Hani pulang membawa sejuta kegalauan. Husni pun pasti bisa tidur tenang malam ini, karena ia tak membawa beban saat pulang sekolah tadi. Sementara bagi Hani dan Andi, begitu berat beban yang mereka pikul. Bahkan mereka belum pernah membawa beban itu selama ini.

***

                Malam itu, setelah selesai Shalat ‘Isya dan makan malam, Hani pun masuk ke dalam kamar tidurnya. Kamar dengan ukuran 3 x 3 meter itu biasanya sudah terasa lapang bagi seorang remaja seumurnya. Tapi entah kenapa kini terasa sesak dan sempit saja. Seakan ada sesuatu yang memenuhi ruangan kamar itu. Akhirnya, ia pun dengan gontainya duduk di sebuah kursi kayu yang sudah mulai tampak usang. Dia duduk di depan jendela yang sengaja dibukanya kembali. Di luar sana tampak sang rembulan seakan ingin menampung curahan hatinya. Suara jangkrik dan katak dari belakang rumahnya yang terletak di tepi sawah itu seakan berusaha menghiburnya. Lama ia bernegosiasi dengan hati dan perasaannya. 

                Akhirnya, ia pun memberanikan diri untuk mencurahkan isi hatinya pada secarik kertas berwarna-warni dan berbunga-bunga. Kertas itu juga tercium harum seperti diberi parfum. Beginilah curahan hati yang ditulisnya :
               
                Dear Honey, Andi.
                Sebelumnya aku minta maaf, sudah memanggilmu dengan honey, dan sudah berani menulis surat ini untukmu. Aku juga sudah membawa buku catatan hatimu pulang ke rumahku. Aku tak bermaksud jahat terhadapmu. Aku hanya bermaksud menyelamatkannya. Aku juga secara tidak sengaja telah membaca puisi-puisi curahan hatimu. Aku terharu, sekaligus terenyuh. Aku tak menyangka, kamu menaruh hati pada sahabatku sendiri. Padahal aku juga menaruh harapan padamu, kelak kau mau menjadi tambatan hatiku. Mengisi kekosongan hati ini.

                Tapi, aku sadar sekarang. Perasaan dan isi hati kita tak sama. Aku inginkan dirimu, sementara kau malah inginkan sahabatku. Aku hanya berharap kau bisa berbahagia bersamanya. Biarlah rasa ini kan ku simpan jauh di lubuk hatiku. Bagiku bahagiamu, bahagianya adalah bahagiaku juga. Biarlah, aku siap jadi jembatan yang akan menghubungkan hatimu dengan hatinya. 

                Walaupun pedih di hatiku, aku relakan demi kebahagiaan pujaan hatiku. Meski bukan denganku, karena cinta tak harus memiliki. Biarkanlah aku jadi pengagum rahasiamu. Aku akan selalu memperhatikanmu, menjagamu. Mudah-mudahan suatu saat nanti, kamu bisa menerima rasaku ini dan mengisi relung hatiku.

Dari : Pengagum Rahasiamu, ku berharap engkau mengerti aku.

                Begitulah surat yang ditulis Hani, sebuah surat kaleng tanpa pengirim yang jelas. Surat itu dilipat dengan sedemikian rupa sehingga sekilas tampak seperti dua buah segitiga yang disusun berdempetan. Lalu dimasukkan ke dalam sebuah amplop bergambar hati yang retak. Kemudian surat itu diselipkan ke dalam buku catatan milik Andi.

***

                Keesokannya, Hani pun berangkat ke sekolah pagi-pagi sekali. Berharap ia berharap menjadi orang yang pertama memasuki kelas. Sesampainya di depan kelas, ia pun bergegas masuk dan menuju meja Andi. Dengan sedikit rasa bimbang, ia pun meletakkan buku Andi ke dalam lacinya. Dan bergegas pula ia berjalan keluar dan kembali ke jalan di depan sekolahnya. Beruntung tidak ada teman-temannya yang melihatnya masuk ke kelas tadi. Ia pun berpura-pura, seakan-akan baru saja ia turun dari angkutan umum dari desanya. Dan ia pun menunggu kedatangan Husni. Maklum, mereka tinggal berlainan desa. Sehingga tidak bisa naik angkutan umum yang sama.

                Sementara itu, dari jauh tampak Andi datang dengan mengayuh sepeda tua peninggalan bapaknya. Ia tinggal tidak terlalu jauh dari sekolah. Hani pun menghela nafas yang dalam, mencoba mengatur nafas dan detak jantungnya yang rasanya semakin berdetak kencang ketika melihat kedatangan Andi. Ia tak bisa membayangkan bagaimana nanti respon Andi setelah ia kembali menemukan buku puisi curhatnya yang juga diselipkan selembar surat tak bertuan dari pengagum rahasianya.

                “Hai... selamat pagi Hana..!” sapa Andi
                “Selamat berbahagia Andi..”. Sahutnya, Hani keceplosan.
                “Apa Hana...?
Maaf aku tadi kurang dengar karena kebetulan ada suara mobil yang berhenti di dekat kita”.
                “Ahh.. gak apa-apa Andi. Aku mau menunggu Husni dulu, mungkin sebentar lagi dia datang”. Jawab Hani. Ia berusaha cepat mengalihkan perhatian Andi. Karena Andi nampaknya tidak terlalu memperhatikan ucapan Hani tadi.
                “Oke dech. Aku duluan ya ke kelasnya”
                “Silahkan.. hati-hati ya...”
“Huff... nyaris saja”. Gumam Hani dalam hatinya. Ia berhasil mengendalikan dirinya, ia bersikap seolah-olah tidak terjadi sesuatu sebelumnya.

                Tak lama kemudian, Husni pun turun dari angkutan umum yang ditumpanginya. Hani pun segera menghampirinya. Mereka pun segera menuju ke kelas bersama-sama dengan teman-teman yang lain. Hani berusaha bersikap sewajarnya. Tak ada gejolak kekecewaan dan kecemburuan di mukanya. Ibarat pepatah, walau ada harimau di dalam hati, tapi kambing juga yang ditampakkan. Mereka berjalan, bercanda gurau seperti biasanya.
                Tepat jam 07.30 Wib, bel sekolah berbunyi. Seluruh siswa pun masuk ke kelas masing-masing. Suasana pagi itu terasa biasa saja bagi para siswa. Tapi tentu tidak bagi Andi dan Hani. Andi masih penasaran dengan buku puisinya kemarin. Ia belum menyadari kalau buku puisinya tersebut ternyata sudah ada dalam lacinya. Sementara itu, Hani membayangkan respon Andi setelah membaca surat yang ia tulis malam tadi.
                Pak Budi pun masuk ke kelas 2 A. Murid-murid pun bersiap-siap dan berdo’a untuk memulai pelajaran. Dan ternyata, hari itu Pak Budi mengadakan ulangan dadakan. Ia saban hari memang sudah mengingatkan para siswa untuk selalu bersiap-siap dengan belajar setiap malam di rumah.
                “Andi, tolong bantu bapak mengumpulkan buku catatan teman-teman kamu”. Pinta Pak Budi.
                “Baik Pak”. Jawab Andi singkat, dan langsung ia mengambil sebuah buku catatan dari dalam lacinya. Karena ingin cepat, ia pun tak sempat membaca tulisan sampul bukunya. Ia hanya berpatokan kepada gambarnya saja. Ia yakin, buku bergambar bunga itu adalah buku catatannya. Ia pun berjalan dan mengumpulkan satu-persatu buku catatan teman-temannya dan meletakkannya di atas meja Pak Budi.
                Hani yang menyadari kalau Andi salah mengumpulkan catatannya semakin salah tingkah. Ingin dia mengingatkan Andi, takut rahasianya terbongkar. Tapi ia juga tidak mau Andi dimarahi Pak Budi karena salah mengumpulkan catatan. Apalagi kalau sampai ketahuan ada sebuah surat kaleng berbunga di dalamnya. Sungguh panas dingin rasanya. Jantungnya berdetak kencang seakan hendak berlari keluar. Darahnya mengalir deras, sehingga membuat wajahnya memerah. Beruntungnya Pak Budi masih sibuk memberikan soal ulangan kepada para siswa. Beliau belum membuka buku-buku catatan yang dikumpulkan oleh Andi tadi.
                Setelah semua mendapatkan soal, Pak Budi mempersilahkan siswa untuk mengerjakannya dengan tetap tenang. Sementara itu, ia mulai memeriksa satu-satu persatu buku catatan tadi. Hani semakin dag dig dug. Ia bahkan berkeringat dingin.
               

“Hani.. kamu sakit ?” tanya Andi.
                “hmm.. Tidak. Hanya semalam... aku kurang tidur”. Jawab Hani sedikit grogi.
                “oh..” sambung Andi.

                “Andi !” tiba-tiba terdengar suara Pak Budi setengah berteriak memanggil Andi.
                “Setelah ini, kamu temui Bapak di ruang bapak ya”.
                “Kenapa pak?” tanya Andi keheranan
                “Nanti Bapak jelaskan”. Sahut Pak Budi
                “Baik Pak”. Jawab Andi singkat, walaupun sebenarnya masih heran dan penasaran dengan sikap Pak Budi.
                Hani pun semakin gelisah tak karuan. Pasti Pak Budi sudah melihat surat yang ia selipkan di buku catatan Andi tadi pikirnya. Andi pasti akan diinterogasi habis-habisan oleh Pak Budi. Lalu bagaimana kalau nanti ketahuan oleh Pak Budi ? karena tulisan surat itu sama dengan tulisan Hani... Ahh.. rasanya mau pecah kepalanya. Hatinya bisa hancur berkeping-keping. Belum lagi rasa malu yang harus ditanggungnya...

Bersambung...
               

Musim Cerai, Sepenggal Kisah di Warung Kopi

Mak Sutan hanya diam memperhatikan Etek Biyai dari balik kaca etalase warung kopinya. “Terima kasih, Tek Biyai.” Sahut Angku Kali sam...