Selasa, 04 Februari 2020

Musim Cerai, Sepenggal Kisah di Warung Kopi


Mak Sutan hanya diam memperhatikan Etek Biyai dari balik kaca etalase warung kopinya.
“Terima kasih, Tek Biyai.” Sahut Angku Kali sambil menerima secangkir kawa daun dan meletakkannya di atas meja.

“Tek, walaupun Etek sudah biasa membuatkan air minum untuk orang lain, karena sudah begitu profesinya, tapi sebaiknya etek tetap menjaga perasaan Mak Sutan juga.” Mak Pono tiba-tiba memberikan argumennya melihat reaksi Mak Sutan tadi.

“Uhuukk uhuukk...” Tiba-tiba Angku Kali terbatuk-batuk mendengar celoteh Mak Pono di saat dia mencoba menyeruput Kawa daunnya. Nyaris saja menyembur muka Mak Itam yang duduk di depannya.

“Betul itu, Tek Biyai!” Sambung Mak Itam pula.

“Saya jadi ingat tetangga saya di rantau dulu, Tek. Isterinya seorang bidan, sementara suaminya hanya pekerja serabutan. Saban hari, tentu saja si isteri ini biasa bergaul dengan banyak orang. Bahkan tak jarang orang yang datang ke rumahnya untuk berobat walaupun sudah larut malam. Coba bayangkan, Suami mana yang tidak cemburu melihat isterinya dijemput dan pergi dengan orang lain di tengah malam pula.” Mak Itam bercerita.

“Hmmm... benar juga apa yang disampaikan Mak Pono dan Mak Itam. Kadang tuntutan profesi sering membuat kita bingung harus memilih.” Sahut Mak Sutan pula.

“Iya, Jadi begini. Sebagai suami tentu saja kita harus memiliki rasa cemburu terhadap isteri. Kalau suami tidak lagi ada rasa cemburu isteri, maka dia disebut Dayyus. Dia nanti tidak akan masuk surga, bahkan tidak bisa mencium wanginya bau surga.” Angku Kali memberikan penjelasannya.

“Persoalannya memang terasa rumit, Angku. Bayangkan bila si isteri pergi ke luar rumah di malam hari pula, tanpa izin suaminya. Kan durhaka namanya? Sebaliknya, kalau dia tidak mau menolong orang yang membutuhkan pertolongannya, maka dia sudah mengkhianati sumpahnya sebagai tenaga kesehatan.” Tiba-tiba Mak Sutan memberondong Angku kali dengan pertanyaannya.

“Hmm... hmmm...” terdengar suara Angku Kali seperti sedang berfikir keras.

“Belum lagi, kalau si isteri harus bekerja berdua dengan seorang laki-laki lain yang merupakan rekan kerjanya. Kan dia punya isteri juga. Kasihan kan, Angku. Kalau mereka nanti tiba-tiba perang dingin karena terbakar api cemburu.” Sambung Mak Sutan lagi.

“Betul-betul. Tenanglah dulu Mak Sutan. Kan Etek Biyai bukan Bidan? Jangan baper lah...” Sahut Mak Itam karena ingin mencairkan suasana warung kopi yang mulai panas dengan obrolannya.

“Hmmm... Baiklah. Jadi begini, kita harus bisa menempatkan sesuatu secara proporsional, adil. Sebagai suami tentu kita punya hak dan kewajiban terhadap isteri kita. Begitu juga sebaliknya. Maka, kita harus bisa bijak menyikapinya. Seperti menarik rambut dari dalam tepung. Rambutnya dapat, tepung tidak tumpah.

Kuncinya adalah komunikasi harus dijalin dengan baik dan lancar antara suami-isteri. Jangan sampai ada yang kesannya ditutupi atau disembunyikan. Pahami baik-baik tentang tugas dan kewajiban masing-masing di luar urusan rumah tangga. Satu hal lagi, jangan juga terlalu egois. Mentang-mentang karena tuntutan profesi, lalu hak suami diabaikan. Ingat, kita hidup tidak hanya di dunia ini. Kita akan mempertanggung jawabkan segala kegiatan kita di dunia ini di akhirat nanti. Suami-isteri harus bisa juga menjaga diri dan perasaan pasangannya. Jangan karena tuntutan pekerjaan, lalu suami dicukein aja. Kalau suami tidak ridho, maka pekerjaan itu tidak akan berkah, walaupun mungkin dapat materi yang banyak.” Angku Kali menguraikan nasehatnya.
“Benar-benar rumit ya, Angku! Apalagi kalau difikirkan terus. Ah.. nampaknya hidup ini memang untuk dijalani, bukan untuk difikirkan saja. Tapi janganlah hidup tanpa berfikir pula.” Tiba-tiba Mak Pono menyerobot dengan petuahnya.

“Baiklah, nampaknya hari sudah mulai agak siang. Mari kita bertebaran di muka bumi Allah ini untuk mencari anugerah-Nya.” Tutup Angku Kali.

“Tapi Kawa Daunnya jangan lupa dibayar, Angku! Walaupun tadi tidak dipesan.” Sahut Mak Itam disambut gelak-tawa seisi warung. Suasana yang tadi mulai tegang, kembali cair dan hangat sehangat cahaya lembut sang Mentari pagi.

Demikianlah sepenggal kisah di warung kopi Mak Sutan dalam topik “Musim Cerai”. Selamat berjumpa lagi dalam topik-topik selanjutnya.

Mohon maaf bila ada kesamaan nama, tokoh, kisah, tempat dan sebagainya. Kisah ini hanya fiktif belaka. Mari kita ambil pelajaran di balik kisah tersebut. Silahkan sampaikan kritik dan saran kepada Penulis melalui kolom komentar yang tersedia. Terima Kasih.

Musim Cerai, Sepenggal Kisah di Warung Kopi

Mak Sutan hanya diam memperhatikan Etek Biyai dari balik kaca etalase warung kopinya. “Terima kasih, Tek Biyai.” Sahut Angku Kali sam...