DULU vs SEKARANG
Sangat menarik rasanya
ketika membandingkan antara berbagai hal yang terjadi pada zaman dahulu dengan
zaman sekarang. Dulu kita adalah seorang balita, sekarang sudah punya balita.
Dulu kita adalah seorang cucu, sekarang kita sudah punya seorang cucu. Walaupun
disinari oleh matahari yang sama sejak dahulu kala, tetapi sekarang sinarnya
terasa sangat panas. Bukan matahari yang berubah, tetapi karena perubahan pada
alam itu sendiri yang sebagian besarnya disebabkan oleh ulang tangan manusia
itu sendiri. Dulu mungkin di sini adalah hutan lebat, sekarang hutannya sudah
ditebang dan ditanami dengan gedung-gedung bertingkat yang lebat pula. Dahulu
di sini adalah daerah lumbung beras karena banyak sawah yang ditanami padi,
sekarang justeru masyarakat mulai kesulitan mendapatkan beras bahkan harus
diimpor karena sawah yang subur tadi sudah ditamani perumahan dan pertokoan
yang menjamur bak di musim hujan.
Agar tulisan ini tidak
terlalu melebar kemana-mana, maka penulis akan mencoba membandingkan beberapa
hal yang terjadi antara zaman dulu dengan zaman sekarang. Semoga kita bisa
menjadikannya sebagai bahan renungan atau i’tibar dalam kehidupan kita
sehari-hari.
Pertama, listrik vs lampu corong. Lampu
corong, atau ada juga yang menyebutnya dengan lampu togok merupakan alat
penerangan sederhana pada zaman dahulu dengan menggunakan minyak tanah sebagai
bahan bakarnya. Dalam sebuah rumah dahulunya, biasanya ada sebuah atau beberapa
buah lampu corong sebagai penerangan di malam hari. Sehingga semua anggota
keluarga mesti berkumpul di titik yang sama agar tidak berada dalam kegelapan.
Alhasil, komunikasi antar sesama anggota keluarga pun terjalin dengan sangat
baik. Ada acara makan bersama, berbagi cerita dan keluh kesah bersama, menyusun
rencana hari esok bersama-sama dan berbagai kebersamaan lainnya. Sekarang
dengan adanya lampu listrik, maka seluruh ruang yang ada di rumah sudah terang
benderang, bahkan sampai ke ruangan pribadi masing-masing. Sehingga setiap
anggota keluarga bisa saja duduk dan melaksanakan aktifitasnya sendiri di
manapun di dalam rumah, bahkan di luar rumah. Alhasil, kehangatan dalam
keluarga mulai berkurang. Setiap orang akan asyik dengan dunianya
masing-masing. Apalagi dengan kehadiran televisi. Dulu satu rumah Cuma punya
satu TV, sehingga anggota keluarga masih bisa secara bersama-sama menonton
acara yang sama. Para orang tua pun bisa dengan mudah mengontrol apa yang
ditonton anak-anaknya. Sekarang sudah ada beberapa TV dalam sebuah rumah,
bahkan TV sudah ada di setiap kamar penghuninya. Apalagi dengan adanya jaringan
internet yang jauh lebih canggih dari TV, maka para orang tua akan lebih
kesulitan lagi mengontrol apa yang ditonton dan disaksikan oleh anak-anaknya.
Kedua, Guru vs Murid. Dahulu keberadaan guru
sangat langka. Sehingga murid harus berjalan bahkan pindah ke daerah di mana
sang guru tinggal agar bisa belajar kepada sang guru. Sekarang nyaris terbalik
keadaannya. Karena banyaknya murid dan terbatasnya guru, maka seorang guru
harus rela meninggalkan keluarganya, pergi subuh pulang menjelang magrib bahkan
harus pindah domisili agar bisa mengajar murid-muridnya. Dahulu guru sangat
dibutuhkan, dihormati, dijadikan suri tauladan dan kata-katanya dipegang
melebihi undang-undang. Bahkan yang tak ekstrimnya, bahkan murid berebut sisa
minuman guru demi mengharap berkah dari ilmu yag diajarkan guru. Sekarang
justeru terbalik. Banyak dijumpai para pelajar yang justeru makin diajar makin
kurang ajar. Beberapa orang guru harus merasakan dinginnya hotel pordeo karena
dianggap ”terlalu keras” dalam mendidik muridnya. Diikung pula oleh
sikap orang tua yang suka “magak an banang basah” terhadap anaknya.
Sehingga kesalahan anak dianggap biasa-biasa saja, terus dibela bahkan gurunya
dituntut hingga masuk penjara. Sungguh sebuah ironi yang sangat menyayat hati
para guru. Bagaimana mungkin ilmu yang diajarkan bisa berkah dan bermanfaat
kalau gurunya saja masih dipersekusi seperti itu.
Walaupun di satu sisi,
ada juga terjadi perubahan pada guru zaman dahulu dengan sekarang. Dulu guru
mempunyai ilmu yang mumpuni dan menguasai berbagai bidang ilmu sekaligus. Guru
selalu belajar meningkatkan kompetensi yang dimilikinya. Sekarang ini, guru
justeru dituntut dengan beraneka ragam administrasi pendidikan yang rumit dan
membebani serta menguras energi, fikiran bahkan emosi. Sehingga nyaris tidak
punya waktu lagi untuk mengembangkan kemampuan yang dimiliki karena besarnya
tuntutan dari stake holder di bidang pendidikan.
Ketiga, kemajuan teknologi vs kemerosotan
akhlak. Kemajuan teknologi sudah merambah berbagai ranah dalam kehidupan
sehari-hari. Mulai dari permainan-permainan sederhana yang dulu dimainkan
secara tradisional sekarang dimainkan dengan tekonologi yang mumpuni. Ketika
dulu banyak permaianan yang hanya bisa dilaksanakan dengan cara bersama-sama
sehingga anak-anak bisa belajar bersosialisasi antar sesamanya sambil
bermain-main. Sekarang permainan sudah banyak yang tersedia dalam gadget.
Sehingga setiap anak bermain dengan sendirinya, bahkan sampai lupa waktu dan
bersikap anti sosial. Di samping itu, semakin canggihnya teknologi juga juga
berdampak pada kemerosotan akhlak. Hal ini diilustrasikan dengan jok kendaraan
sepeda motor. Dahulu jok sepeda motor rata dari depan sampai ke belakang,
sekarang semakin canggih dan mahal sebauh motor maka joknya semakin tinggi di belakang
dan rendah ke depannya. Akibatnya orang yang berboncengan di belakang mesti
terdorong ke depan dan memeluk orang yang memboncengnya. Kalau yang dibonceng
adalah pasangan sahnya, tentu saja tidak ada masalah. Lain halnya kalau yang
dibonceng adalah pasangan yang belum sah (pacar atau orang lain), tentu saja
sangat tidak sopan dan berakhlak namanya. Sehingga lahir lah sebuah istilah “lari
motornya 40 KM tapi pegangannya 100 KM”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar