Senin, 30 Desember 2019

DULU vs SEKARANG


DULU vs SEKARANG

Sangat menarik rasanya ketika membandingkan antara berbagai hal yang terjadi pada zaman dahulu dengan zaman sekarang. Dulu kita adalah seorang balita, sekarang sudah punya balita. Dulu kita adalah seorang cucu, sekarang kita sudah punya seorang cucu. Walaupun disinari oleh matahari yang sama sejak dahulu kala, tetapi sekarang sinarnya terasa sangat panas. Bukan matahari yang berubah, tetapi karena perubahan pada alam itu sendiri yang sebagian besarnya disebabkan oleh ulang tangan manusia itu sendiri. Dulu mungkin di sini adalah hutan lebat, sekarang hutannya sudah ditebang dan ditanami dengan gedung-gedung bertingkat yang lebat pula. Dahulu di sini adalah daerah lumbung beras karena banyak sawah yang ditanami padi, sekarang justeru masyarakat mulai kesulitan mendapatkan beras bahkan harus diimpor karena sawah yang subur tadi sudah ditamani perumahan dan pertokoan yang menjamur bak di musim hujan.

Agar tulisan ini tidak terlalu melebar kemana-mana, maka penulis akan mencoba membandingkan beberapa hal yang terjadi antara zaman dulu dengan zaman sekarang. Semoga kita bisa menjadikannya sebagai bahan renungan atau i’tibar dalam kehidupan kita sehari-hari.

Pertama, listrik vs lampu corong. Lampu corong, atau ada juga yang menyebutnya dengan lampu togok merupakan alat penerangan sederhana pada zaman dahulu dengan menggunakan minyak tanah sebagai bahan bakarnya. Dalam sebuah rumah dahulunya, biasanya ada sebuah atau beberapa buah lampu corong sebagai penerangan di malam hari. Sehingga semua anggota keluarga mesti berkumpul di titik yang sama agar tidak berada dalam kegelapan. Alhasil, komunikasi antar sesama anggota keluarga pun terjalin dengan sangat baik. Ada acara makan bersama, berbagi cerita dan keluh kesah bersama, menyusun rencana hari esok bersama-sama dan berbagai kebersamaan lainnya. Sekarang dengan adanya lampu listrik, maka seluruh ruang yang ada di rumah sudah terang benderang, bahkan sampai ke ruangan pribadi masing-masing. Sehingga setiap anggota keluarga bisa saja duduk dan melaksanakan aktifitasnya sendiri di manapun di dalam rumah, bahkan di luar rumah. Alhasil, kehangatan dalam keluarga mulai berkurang. Setiap orang akan asyik dengan dunianya masing-masing. Apalagi dengan kehadiran televisi. Dulu satu rumah Cuma punya satu TV, sehingga anggota keluarga masih bisa secara bersama-sama menonton acara yang sama. Para orang tua pun bisa dengan mudah mengontrol apa yang ditonton anak-anaknya. Sekarang sudah ada beberapa TV dalam sebuah rumah, bahkan TV sudah ada di setiap kamar penghuninya. Apalagi dengan adanya jaringan internet yang jauh lebih canggih dari TV, maka para orang tua akan lebih kesulitan lagi mengontrol apa yang ditonton dan disaksikan oleh anak-anaknya.

Kedua, Guru vs Murid. Dahulu keberadaan guru sangat langka. Sehingga murid harus berjalan bahkan pindah ke daerah di mana sang guru tinggal agar bisa belajar kepada sang guru. Sekarang nyaris terbalik keadaannya. Karena banyaknya murid dan terbatasnya guru, maka seorang guru harus rela meninggalkan keluarganya, pergi subuh pulang menjelang magrib bahkan harus pindah domisili agar bisa mengajar murid-muridnya. Dahulu guru sangat dibutuhkan, dihormati, dijadikan suri tauladan dan kata-katanya dipegang melebihi undang-undang. Bahkan yang tak ekstrimnya, bahkan murid berebut sisa minuman guru demi mengharap berkah dari ilmu yag diajarkan guru. Sekarang justeru terbalik. Banyak dijumpai para pelajar yang justeru makin diajar makin kurang ajar. Beberapa orang guru harus merasakan dinginnya hotel pordeo karena dianggap ”terlalu keras” dalam mendidik muridnya. Diikung pula oleh sikap orang tua yang suka “magak an banang basah” terhadap anaknya. Sehingga kesalahan anak dianggap biasa-biasa saja, terus dibela bahkan gurunya dituntut hingga masuk penjara. Sungguh sebuah ironi yang sangat menyayat hati para guru. Bagaimana mungkin ilmu yang diajarkan bisa berkah dan bermanfaat kalau gurunya saja masih dipersekusi seperti itu.

Walaupun di satu sisi, ada juga terjadi perubahan pada guru zaman dahulu dengan sekarang. Dulu guru mempunyai ilmu yang mumpuni dan menguasai berbagai bidang ilmu sekaligus. Guru selalu belajar meningkatkan kompetensi yang dimilikinya. Sekarang ini, guru justeru dituntut dengan beraneka ragam administrasi pendidikan yang rumit dan membebani serta menguras energi, fikiran bahkan emosi. Sehingga nyaris tidak punya waktu lagi untuk mengembangkan kemampuan yang dimiliki karena besarnya tuntutan dari stake holder di bidang pendidikan.

Ketiga, kemajuan teknologi vs kemerosotan akhlak. Kemajuan teknologi sudah merambah berbagai ranah dalam kehidupan sehari-hari. Mulai dari permainan-permainan sederhana yang dulu dimainkan secara tradisional sekarang dimainkan dengan tekonologi yang mumpuni. Ketika dulu banyak permaianan yang hanya bisa dilaksanakan dengan cara bersama-sama sehingga anak-anak bisa belajar bersosialisasi antar sesamanya sambil bermain-main. Sekarang permainan sudah banyak yang tersedia dalam gadget. Sehingga setiap anak bermain dengan sendirinya, bahkan sampai lupa waktu dan bersikap anti sosial. Di samping itu, semakin canggihnya teknologi juga juga berdampak pada kemerosotan akhlak. Hal ini diilustrasikan dengan jok kendaraan sepeda motor. Dahulu jok sepeda motor rata dari depan sampai ke belakang, sekarang semakin canggih dan mahal sebauh motor maka joknya semakin tinggi di belakang dan rendah ke depannya. Akibatnya orang yang berboncengan di belakang mesti terdorong ke depan dan memeluk orang yang memboncengnya. Kalau yang dibonceng adalah pasangan sahnya, tentu saja tidak ada masalah. Lain halnya kalau yang dibonceng adalah pasangan yang belum sah (pacar atau orang lain), tentu saja sangat tidak sopan dan berakhlak namanya. Sehingga lahir lah sebuah istilah “lari motornya 40 KM tapi pegangannya 100 KM”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Musim Cerai, Sepenggal Kisah di Warung Kopi

Mak Sutan hanya diam memperhatikan Etek Biyai dari balik kaca etalase warung kopinya. “Terima kasih, Tek Biyai.” Sahut Angku Kali sam...