Senin, 30 Desember 2019

Awass!!!! Ada Pergeseran


Awas!!!! Ada Pergeseran...

Oleh : Zulkifli, S. Pd.I
Guru MAN 3 Solok


Bagi setiap orang, mendengar kalimat “ada pergeseran” akan membawa sensasi yang berbeda-beda tergantung pengalaman hidup atau mungkin ada trauma tertentu. Mereka yang pernah selamat dari amukan gempa bumi atau terjangan air laut yang muntah ke daratan, tentu fikirannnya akan secara refleks menangkap maknanya “ada pergeseran lempeng” yang menyebabkan gempa, tsunami bahkan likuefaksi seperti yang terjadi di Palu beberapa waktu yang lalu. Bagi para pejabat, mereka mungkin akan mengira adanya rolling atau reshuffle dalam jabatannya.

Akan tetapi, yang Penulis maksud pergeseran di sini adalah adanya pergeseran makna dari beberapa kata serapan yang diambil dari bahasa Arab ke dalam bahasa Minang maupun bahasa Indonesia. Artinya, ada perbedaan makna asli dari kata-kata tersebut setelah kemudian diadopsi ke dalam bahasa lain.

Sebagai contoh, marilah kita perhatikan beberapa kata di bawah ini :

1.      Gharim
Gharim (minang : garim) berasal dari kata غَارِمٌ. Makna asalnya adalah orang yang berhutang, sebagaimana yang terdapat dalam Al Qur’an Surat at Taubah ayat 60. Dalam kehidupan sehari-hari, kata garim dalam bahasa Minang, justeru sering diartikan sebagai orang yang tinggal dan atau bertugas sebagai imam, muazzin sekaligus petugas kebersihan masjid atau mushalla.

2.      Masjid dan Mushalla
Masjid berasal dari kata مَسْجِدٌ, sedangkan mushalla berasal dari kata مُصَلَّى. Makna asalnya adalah tempat shalat. Masjid adalah tempat shalat wajib dan kegiatan keagamaan lainnya berupa sebuah bangunan yang khusus digunakan untuk kegiatan tersebut. Masjid yang di dalamnya dilaksanakan shalat jum’at disebut dengan masjid jami’. Sedangkan masjid yang dimiliki dan digunakan oleh kaum tertentu disebut dengan masjid kaum. Sedangkan mushalla adalah sebuah lapangan yang digunakan oleh ummat Islam untuk melaksanakan shalat pada dua hari raya, shalat istisqa’ dan shalat sunnah yang disyari’atkan untuk dilaksanakan secara berjama’ah lainnya.

Dalam bahasa Indonesia, masjid diartikan sebagai tempat shalat yang di dalamnya juga dilaksanakan shalat jum’at serta kegiatan keagamaan lainnya. Sedangkan tempat shalat yang di dalamnya tidak dilaksanakan shalat jum’at dinamakan dengan mushalla. Dalam bahasa Minang disebut dengan surau atau langgar. Sehingga ada istilah surau kaum atau surau suku. Mushalla juga digunakan untuk menyebut tempat shalat yang bukan berupa bangunan khusus untuk shalat seperti halnya masjid. Hanya berupa sebuah ruangan kecil di perkantoran, SPBU, rumah makan, restoran, plaza dan tempat umum lainnya.

3.      Fakih (minang : Pakiah)
Fakih berasal dari kata فَقِيْهٌ. Artinya adalah orang punya pemahaman yang mendalam tentang ajaran agama islam. Dalam bahasa Indonesia, justeru terjadi penyempitan maknanya menjadi orang yang ahli dalam bidang ilmu Fikih saja. Padahal fikih hanyalah satu bagian dari ajaran islam itu sendiri.

Dalam bahasa Minang, fakih disebut dengan Pakiah/pokiah, dimana terjadi lagi pergeseran maknanya. Pertama, orang yang mempunyai ilmu agama yang mumpuni. Kedua, orang belajar ilmu-ilmu agama di surau-surau atau pesantren-pesantren (seperti di Pariaman). Ketiga, di sebagian daerah minang lainnya seperti Batusangkar, Pakiah/Pokiah adalah santri pesantren atau orang yang berjalan kaki keliling kampung untuk memungut infak dan sedekah dengan membawa buntia, -- karung kecil yang berbahan dasar kain—yang akan digunakan untuk biaya hidup santri di pesantren/surau atau untuk pembangunan madrasah mereka. Sehingga lahirlah kata mamakiah, artinya pergi meminta/mengumpulkan infak dan sedekah.

4.      Fitnah (minang : Pitanah)
Fitnah berasal dari kata فِتْنَةٌ. Dalam bahasa Arab (al Qur’an) diartikan dengan ujian, azab dan tuduhan palsu. Sementara dalam bahasa Indonesia hanya digunakan pada makna yang ketiga. Yaitu perkataan bohong atau tanpa berdasarkan kebenaran yg disebarkan dengan maksud menjelekkan orang (seperti menodai nama baik, merugikan kehormatan orang)

5.      Ustaz (minang : ustad, buya)
Ustaz berasal dari kata أُسْتَاذٌ. Artinya seorang guru, guru besar (Profesor). Dalam bahasa Indonesia, Ustaz diartikan dengan seorang guru, khususnya guru di bidang agama, baik formal maupun non formal. Seorang penceramah (da’i) juga sering disebut Ustaz. Ada juga yang menggunakannya untuk panggilan kehormatan bagi orang yang memiliki ilmu agama walaupun mungkin bukan seorang guru. Bahkan ada juga yang menggunakannya dengan maksud mencemooh atau pengahargaan yang berlebih-lebihan terhadap seseorang baru tampil di atas mimbar memberikan ceramah walau ilmu agamanya belum mendalam. Atau orang yang selama ini acuh tak acuh dengan agama, tiba-tiba menjadi orang yang taat dan selalu berbicara masalah agama (berdakwah). Dalam bahasa Minang, sering juga dipakai istilah Syekh, Buya, Tuak Angku, Angku dan lain-lain. Walaupun masing-masing kata tersebut juga punya ciri khas makna tersendiri. Bahkan sering, satu kata dianggap lebih tinggi nilai dan penghormatannya dibanding kata lainnya tergantung kearifan lokal daerah tertentu.

Tentu saja masih banyak lagi kata-kata serapan lainnya yang maknanya bergeser jauh dari makna aslinya. Penulis hanya ingin menegaskan agar kita berhati-hati dalam menggunakan setiap kata dalam sebuah pembicaraan. Bisa jadi, suatu kata yang di suatu daerah bermakna biasa-biasa saja, sopan dan patut, tetapi di daerah lain bisa berbeda. Ketika kita berkunjung atau bahkan merantau, tinggal di daerah yang bukan daerah asal biasa kita tinggali maka harus dengan segera menyesuaikan diri, mempelajari dan memahami kearifan lokal tentang bahasa yang biasa digunakan di sana agar tidak terjadi miskomunikasi, kesalah pahaman apalagi permusuhan dan pertengkaran.

Sebagai contoh sederhana, ketika kita berkunjung ke Medan (Sumatera Utara), jangan sekali-sekali menyebut “makan tulang”. Karena di sana tulang artinya adalah paman. Ketika berkunjung dan ingin menginap di rumah seorang teman di daerah Lintau (Batusangkar) misalnya, jangan takut apalagi lari kalau sang tuan rumah akan berkata kepada anaknya : “alah babantai kawan ang tadi?”. Karena artinya adalah : “Sudahkah kamu berikan bantal kepada temanmu tadi?”.

Begitu juga ketika kita memahami al Qur’an dan Hadis yang jelas-jelas menggunakan bahasa Arab dengan struktur sastra yang sangat tinggi. Sehingga belum bisa dipahami maknanya ketika kita hanya membaca terjemahannya saja. karena satu kata yang sama akan memiliki makna yang berbeda-beda tergantung siak (susunan) kalimatnya dan segenap ketentuan-ketentuan lainnya sebagai mana yang terdapat dalam ilmu Nahwu, Sharaf, Ma’ani, Bayan, Mantiq, asbabun nuzulnya dan lain-lain.

Contohnya, ketika terjadi peristiwa Ahok. Umat Islam sangat serius memperhatikan rentetan ayat-ayat tersebut (QS Al Maidah ayat  50). Bahkan sempat beredar kabar bahwa ada yang telah menukar makna awliya’ dalam al Qur’an tersebut. Biasanya diartikan dengan pemimpin sekarang ada yang diartikan dengan teman setia. Sehingga ummat bertambah ribut dan kasak-kusuk pada waktu itu, dan dengan cepatnya pergantian makna tersebut menyebar kemana-mana dan menjadi viral. Padahal perubahan makna itu sudah dilakukan oleh para Ulama ahli yang mempunyai ilmu yang mumpuni mengenai al Qur’an di bawah pengawasan Kementerian Agama beberapa tahun sebelum peristiwa Ahok terjadi. Dan perubahan itu tidak ada hubungannya dengan peristiwa tersebut. Jadi makna ayat tersebut adalah : agar orang muslim tidak menjadikan orang kafir sebagai teman setianya apalagi menjadikannya pemimpin. Ini lah makna yang sesungguhnya.

Sebagai penutup, marilah kita perhatikan pesan yang disampaikan Umar bin Khattab : "تَعَلَّمُوا اللُّغَةَ الْعَرَبِيَّةَ، فَإِنَّهَا مِنْ دِيْنِكُمْ" artinya : Pelajarilah bahasa Arab karena sesungguhnya dia termasuk bagian dari agamamu !” Agar tidak terjadi “jalan dialiah urang lalu, cupak dialiah urang manggale” dalam memahami ajaran agama Islam.

وَاللهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Musim Cerai, Sepenggal Kisah di Warung Kopi

Mak Sutan hanya diam memperhatikan Etek Biyai dari balik kaca etalase warung kopinya. “Terima kasih, Tek Biyai.” Sahut Angku Kali sam...