Awas!!!!
Ada Pergeseran...
Oleh
: Zulkifli, S. Pd.I
Guru MAN 3 Solok
Bagi setiap orang, mendengar kalimat “ada pergeseran” akan membawa
sensasi yang berbeda-beda tergantung pengalaman hidup atau mungkin ada trauma
tertentu. Mereka yang pernah selamat dari amukan gempa bumi atau terjangan air
laut yang muntah ke daratan, tentu fikirannnya akan secara refleks menangkap
maknanya “ada pergeseran lempeng” yang menyebabkan gempa, tsunami bahkan
likuefaksi seperti yang terjadi di Palu beberapa waktu yang lalu. Bagi para
pejabat, mereka mungkin akan mengira adanya rolling atau reshuffle dalam
jabatannya.
Akan tetapi, yang Penulis maksud pergeseran di sini adalah adanya
pergeseran makna dari beberapa kata serapan yang diambil dari bahasa Arab ke
dalam bahasa Minang maupun bahasa Indonesia. Artinya, ada perbedaan makna asli
dari kata-kata tersebut setelah kemudian diadopsi ke dalam bahasa lain.
Sebagai contoh, marilah kita perhatikan beberapa kata di bawah ini :
1.
Gharim
Gharim (minang
: garim) berasal dari kata غَارِمٌ. Makna
asalnya adalah orang yang berhutang, sebagaimana yang terdapat dalam Al
Qur’an Surat at Taubah ayat 60. Dalam kehidupan sehari-hari, kata garim dalam
bahasa Minang, justeru sering diartikan sebagai orang yang tinggal dan atau
bertugas sebagai imam, muazzin sekaligus petugas kebersihan masjid atau
mushalla.
2.
Masjid dan
Mushalla
Masjid
berasal dari kata مَسْجِدٌ, sedangkan
mushalla berasal dari kata مُصَلَّى. Makna
asalnya adalah tempat shalat. Masjid adalah tempat shalat wajib
dan kegiatan keagamaan lainnya berupa sebuah bangunan yang khusus digunakan
untuk kegiatan tersebut. Masjid yang di dalamnya dilaksanakan shalat jum’at
disebut dengan masjid jami’. Sedangkan masjid yang dimiliki dan
digunakan oleh kaum tertentu disebut dengan masjid kaum. Sedangkan mushalla
adalah sebuah lapangan yang digunakan oleh ummat Islam untuk melaksanakan
shalat pada dua hari raya, shalat istisqa’ dan shalat sunnah yang disyari’atkan
untuk dilaksanakan secara berjama’ah lainnya.
Dalam bahasa
Indonesia, masjid diartikan sebagai tempat shalat yang di dalamnya juga
dilaksanakan shalat jum’at serta kegiatan keagamaan lainnya. Sedangkan tempat
shalat yang di dalamnya tidak dilaksanakan shalat jum’at dinamakan dengan mushalla.
Dalam bahasa Minang disebut dengan surau atau langgar. Sehingga
ada istilah surau kaum atau surau suku. Mushalla juga digunakan
untuk menyebut tempat shalat yang bukan berupa bangunan khusus untuk shalat
seperti halnya masjid. Hanya berupa sebuah ruangan kecil di perkantoran, SPBU,
rumah makan, restoran, plaza dan tempat umum lainnya.
3.
Fakih (minang : Pakiah)
Fakih berasal dari
kata فَقِيْهٌ. Artinya
adalah orang punya pemahaman yang mendalam tentang ajaran agama islam. Dalam
bahasa Indonesia, justeru terjadi penyempitan maknanya menjadi orang yang ahli
dalam bidang ilmu Fikih saja. Padahal fikih hanyalah satu bagian dari ajaran
islam itu sendiri.
Dalam bahasa
Minang, fakih disebut dengan Pakiah/pokiah, dimana terjadi lagi
pergeseran maknanya. Pertama, orang yang mempunyai ilmu agama yang mumpuni.
Kedua, orang belajar ilmu-ilmu agama di surau-surau atau pesantren-pesantren
(seperti di Pariaman). Ketiga, di sebagian daerah minang lainnya seperti
Batusangkar, Pakiah/Pokiah adalah santri pesantren atau orang yang
berjalan kaki keliling kampung untuk memungut infak dan sedekah dengan membawa buntia,
-- karung kecil yang berbahan dasar kain—yang akan digunakan untuk biaya
hidup santri di pesantren/surau atau untuk pembangunan madrasah mereka.
Sehingga lahirlah kata mamakiah, artinya pergi meminta/mengumpulkan
infak dan sedekah.
4.
Fitnah (minang : Pitanah)
Fitnah berasal
dari kata فِتْنَةٌ. Dalam
bahasa Arab (al Qur’an) diartikan dengan ujian, azab dan tuduhan
palsu. Sementara dalam bahasa Indonesia hanya digunakan pada makna yang
ketiga. Yaitu perkataan bohong atau tanpa berdasarkan kebenaran yg disebarkan dengan
maksud menjelekkan orang (seperti menodai nama baik, merugikan kehormatan
orang)
5.
Ustaz (minang : ustad,
buya)
Ustaz berasal dari
kata أُسْتَاذٌ. Artinya
seorang guru, guru besar (Profesor). Dalam bahasa Indonesia, Ustaz diartikan
dengan seorang guru, khususnya guru di bidang agama, baik formal maupun non
formal. Seorang penceramah (da’i) juga sering disebut Ustaz. Ada juga yang
menggunakannya untuk panggilan kehormatan bagi orang yang memiliki ilmu agama
walaupun mungkin bukan seorang guru. Bahkan ada juga yang menggunakannya dengan
maksud mencemooh atau pengahargaan yang berlebih-lebihan terhadap seseorang
baru tampil di atas mimbar memberikan ceramah walau ilmu agamanya belum
mendalam. Atau orang yang selama ini acuh tak acuh dengan agama, tiba-tiba
menjadi orang yang taat dan selalu berbicara masalah agama (berdakwah). Dalam
bahasa Minang, sering juga dipakai istilah Syekh, Buya, Tuak Angku, Angku
dan lain-lain. Walaupun masing-masing kata tersebut juga punya ciri khas
makna tersendiri. Bahkan sering, satu kata dianggap lebih tinggi nilai dan
penghormatannya dibanding kata lainnya tergantung kearifan lokal daerah
tertentu.
Tentu saja masih banyak lagi kata-kata serapan lainnya yang maknanya
bergeser jauh dari makna aslinya. Penulis hanya ingin menegaskan agar kita
berhati-hati dalam menggunakan setiap kata dalam sebuah pembicaraan. Bisa jadi,
suatu kata yang di suatu daerah bermakna biasa-biasa saja, sopan dan patut,
tetapi di daerah lain bisa berbeda. Ketika kita berkunjung atau bahkan
merantau, tinggal di daerah yang bukan daerah asal biasa kita tinggali maka
harus dengan segera menyesuaikan diri, mempelajari dan memahami kearifan lokal
tentang bahasa yang biasa digunakan di sana agar tidak terjadi miskomunikasi,
kesalah pahaman apalagi permusuhan dan pertengkaran.
Sebagai contoh sederhana, ketika kita berkunjung ke Medan (Sumatera
Utara), jangan sekali-sekali menyebut “makan tulang”. Karena di sana tulang
artinya adalah paman. Ketika berkunjung dan ingin menginap di rumah
seorang teman di daerah Lintau (Batusangkar) misalnya, jangan takut apalagi
lari kalau sang tuan rumah akan berkata kepada anaknya : “alah babantai
kawan ang tadi?”. Karena artinya adalah : “Sudahkah kamu berikan bantal
kepada temanmu tadi?”.
Begitu juga ketika kita memahami al Qur’an dan Hadis yang jelas-jelas
menggunakan bahasa Arab dengan struktur sastra yang sangat tinggi. Sehingga
belum bisa dipahami maknanya ketika kita hanya membaca terjemahannya saja.
karena satu kata yang sama akan memiliki makna yang berbeda-beda tergantung siak
(susunan) kalimatnya dan segenap ketentuan-ketentuan lainnya sebagai mana
yang terdapat dalam ilmu Nahwu, Sharaf, Ma’ani, Bayan, Mantiq, asbabun nuzulnya
dan lain-lain.
Contohnya, ketika terjadi peristiwa Ahok. Umat Islam sangat serius
memperhatikan rentetan ayat-ayat tersebut (QS Al Maidah ayat 50). Bahkan sempat beredar kabar bahwa ada
yang telah menukar makna awliya’ dalam al Qur’an tersebut. Biasanya
diartikan dengan pemimpin sekarang ada yang diartikan dengan teman
setia. Sehingga ummat bertambah ribut dan kasak-kusuk pada waktu itu, dan
dengan cepatnya pergantian makna tersebut menyebar kemana-mana dan menjadi
viral. Padahal perubahan makna itu sudah dilakukan oleh para Ulama ahli yang
mempunyai ilmu yang mumpuni mengenai al Qur’an di bawah pengawasan Kementerian
Agama beberapa tahun sebelum peristiwa Ahok terjadi. Dan perubahan itu
tidak ada hubungannya dengan peristiwa tersebut. Jadi makna ayat tersebut
adalah : agar orang muslim tidak menjadikan orang kafir sebagai teman setianya
apalagi menjadikannya pemimpin. Ini lah makna yang sesungguhnya.
Sebagai penutup, marilah kita perhatikan pesan yang disampaikan Umar bin
Khattab : "تَعَلَّمُوا اللُّغَةَ
الْعَرَبِيَّةَ، فَإِنَّهَا مِنْ دِيْنِكُمْ" artinya : “Pelajarilah
bahasa Arab karena sesungguhnya dia termasuk bagian dari agamamu !” Agar
tidak terjadi “jalan dialiah urang lalu, cupak dialiah urang manggale” dalam
memahami ajaran agama Islam.
وَاللهُ أَعْلَمُ
بِالصَّوَابِ
Tidak ada komentar:
Posting Komentar