Senin, 30 Desember 2019

Ada Apa Dengan UAS ?!


Ada apa dengan UAS?

Akhir-akhir ini UAS semakin terkenal dan semakin banyak diperbincangkan di berbagai media. Namun, UAS yang penulis maksud bukanlah sang guru kita, Ustaz Abdul Somad, Lc. MA, tetapi yang penulis maksud adalah Ujian Akhhir Semester. Walaupun sekarang namanya sudah berganti lagi menjadi Penilaian Akhir Semester (PAS). 

“Lalu, ada apa dengan UAS ini?”

Marilah kita simak beberapa hal di bawah ini.

Pertama, pertama ujian akhir semester sering menjadi sebuah momok bagi para siswa. Tak sedikit siswa bahkan guru yang ikut stress apabila dihadapkan pada ujian. Pembelajaran yang direncakanakan dan disusun sedemikian rupa dari awal semester, toh ujung-ujungnya berorientasi pada keberhasilan dalam menjawab soal-soal yang akan ujikan di akhir semester. Siswa dianggap berprestasi dan guru dianggap berhasil apabila siswanya mampu menjawab soal ujian dengan baik dan benar. Bahkan sebelum ujian dilaksanakan guru dan siswa sibuk membahas soal-soal ujian sebelumnya serta kisi-kisi masing-masing mata pelajarannya.  Namun, satu hal patut kita renungkan bersama adalah : “Apakah tujuan utama dari pendidikan dan proses pembelajaran itu “hanya” untuk menjawab soal-soal ujian itu?”

Kedua, ujian itu lebih kepada mengukur keimanan siswa ketimbang mengukur kemampuannya. “Lho, apa hubungannya?” bagi mereka yang benar-benar yakin akan pengawasan Allah dan juga para malaikatnya (ini termasuk dua diantara rukun iman) tentu saja mereka akan melaksanakan ujian dengan penuh kejujuran. Tak tergerak di hatinya untuk melakukan berbagai kecurangan yang bisa saja dilakukan di saat ujian. Walaupun ada guru pengawas di ruang ujian, namun tentu saja mereka juga manusia biasa yang tak luput dari kelengahan dalam pengawasan ujian. Bagi yang imannya lemah, tentu saja dia tidak akan merasa dan menyadari bahwa dia diawasi oleh Tuhan yang tidak pernah terkantuk, tertidur apalagi lalai dalam pengawasan-Nya.

Ketiga, kebenaran vs kebetulan. Siswa yang benar-benar belajar dan mampu memahami materi yang dijarkan dengan baik, tentu saja akan bisa menjawab soal-soal ujian dengan benar dan tepat. Sementara itu, tak sedikit pula siswa yang mampu menjawab dengan betul walaupun hanya karena kebetulan saja. bahkan yang lebih parahnya lagi, ada siswa yang sudah belajar bersungguh-sungguh, namun karena kemampuannya yang terbatas, serta kejujurannya yang tinggi akhirnya dia tidak dapat menjawab soal dengan benar. Sementara itu, siswa yang bisa “berpandai-pandai” dalam menjalani ujian, maka dia bisa menjawab dengan betul walaupun hanya karena kebetulan saja. Jadi, kita sebenarnya menginginkan yang mana ? apakah sebuah kebetulan yang belum tentu betul ? Atau sebuah kebenaran yang sudah pasti benar ?

Keempat, mahal dan langkanya kejujuran dalam ujian.  Di zaman yang semakin canggih ini, kejujuran menjadi sesuatu yang sudah sulit untuk ditemukan. Ibarat mencari jarum di tumpukan jerami. Semakin canggih teknologi, maka orang akan semakin mudah berbuat ketidak jujuran, tak terkecuali ketika ujian berlangsung. Bila di zaman dulu, para siswa yang ingin berbuat curang, hanya bermodalkan secarik kertas ajaib yang disebut jimat, maka dengan teknologi yang canggih, maka tingkat kecurangan itu juga bisa semakin canggih pula. Mungkin melalui headset yang terpasang di telinga dan diputar melalui bluetooth, atau dengan menfoto beberapa bagian buku yang penting, menscreenshootnya atau menggunakan aplikasi tertentu secara rahasia dan sembunyi-sembunyi. Walaupun kedengarannya masih mustahil, tapi hal ini perlu diwaspadai. Mengingat bahwa para pelajar justeru terkadang lebih melek teknologi dibanding dengan gurunya. Sehingga salah satu yang sangat penting dan sangat mendesak untuk ditanamkan dan dipatrikan ke dalam jiwa setiap peserta didik adalah memiliki sikap kejujuran. Baik ketika tidak ada kesempatan untuk berbuat curang, maupun ketika situasi dan kondisi memungkinkan untuk berbuat curang.

Kelima, pemanfaatan teknologi informasi dalam pelaksanaan ujian. Beberapa tahun belakang ini, di negara kita sudah dipraktekkan pelaksanaan ujian dengan menggunakan sistem komputerisasi. Mulai dari Ujian Nasional, bahkan ujian seleksi penerimaan CPNS. Teranyar adalah penggunaan sebuah aplikasi berbasis android bernama Si Pintar di beberapa daerah. Satu hal yang perlu menjadi catatan bagi kita adalah, sejauh mana suatu sekolah di suatu daerah siap dan mampu dalam pemanfaatan komputer, internet, bahkan android dan sejenisnya untuk dipergunakan dalam pelaksanaan ujian. Hal itu tentu tergantung kepada berbagai faktor. Diantaranya kesiapan dari sisi payung hukumnya, sarana dan prasarananya, sumber daya manusianya dan tentu saja dana operasionalnya. Bagi sekolah yang sudah maju, berada di perkotaan dan punya kemampuan dan sarana prasarana yang mumpuni tentu saja tidak ada masalah. Lain halnya dengan sekolah yang masih berkekurangan dari segi finansial, sarana prasarana maupun SDMnya, apalagi yang terletak di daerah yang masih sulit sinyal internetnya. Bahkan jangankan untuk berselancar ria di dunia maya, untuk menelpon dan berkirim pesan singkat pun masih sangat sulit. Inilah sebuah realita sekaligus tantangan dan rintangan di dunia pendidikan kita hari ini. 

Keenam, tingkat efektifitas ujian sebagai alat ukur keberhasilan sebuah proses pendidikan. Berdasarkan beberapa fakta di atas, maka hal terakhir yang masih menjadi perdebatan di kalangan ahli pendidikan dan pengambil kebijakan dalam bidang pendidikan adalah seberapa efektif sebuah ujian akhir semester atau ujian akhir nasional mampu menilai dan mengukur keberhasilan proses belajar mengajar itu sendiri. Sebagai contoh sederhana, ada siswa yang ketika hari ujian dia mengalami berbagai masalah dalam kehidupan keluarganya, sehingga seluruh energi, pemikiran bahkan emosinya tergerus oleh masalah tersebut. Alhasil, dia mengikuti ujian tidak dalam kondisi yang seharusnya. Sehingga hasil ujiannya akan kurang memuaskan bahkan cenderung gagal. Begitu juga kalau ada yang sedang sakit misalnya, maka kemampuan berfikirnya pasti akan terganggu. Sebaliknya ada siswa yang ketika belajar biasa-biasa saja bahkan acuh tak acuh, tetapi karena “usaha dan keberuntungannya” dia mendapat kunci jawaban atau minimal dapat contek dari temannya yang kebetulan jawabannya benar, maka hasil ujiannya akan terlihat bagus. Mungkin masih segar diingatan kita tentang salah seorang siswa yang biasanya juara kelas, tetapi hasil ujian akhirnya justeru tidak lulus. Walaupun di sisi lain masih ada siswa yang benar-benar bersungguh-sungguh dalam belajar sehingga hasil ujiannya juga bagus dan lulus dengan nilai terbaik.

Sebagai penutup, sebuah renungan bagi kita yang berprofesi sebagai pendidik, tenaga kependidikan ataupun pengambil dan pembuat kebijakan di bidang pendidikan adalah : “Mau di bawa kemana pendidikan kita ini?” Apakah hanya mengajar dan mendidik siswa untuk pintar dan bisa menjawab soal-soal tentang materi yang dipelajari?, ataukah kita ingin menanamkan nilai-nilai akhlakul karimah di dalam jiwa peserta didik kita?, Ataukah peserta didikkita akan menjadi orang yang semakin diajar, semakin kurang ajar? Akankah penanaman IPTEK dan IMTAQ hanya menjadi sebuah jargon atau misi yang tidak pernah berhasil? Tentu saja semua itu butuh keseriusan, kegigihan, keuletan, motivasi yang kuat, kreatifitas tinggi serta inovasi yang tiada henti dan tentu saja do’a yang tulus kepada sang Ilahi.

Tentang Penulis
Nama Zulkifli, S.Pd.I. Pendidikan terakhir S1 UIN Imam Bonjol Padang Fakultas Tarbiyah jurusan Pendidikan Bahasa Arab, tamat tahun 2010. Pekerjaan sekarang Guru Bahasa Arab pada MAN 3 Solok. Alamat di jorong Koto Baru Nagari Tanjung Alai, Kec. X Koto Singkarak Kab. Solok, Sumatera Barat. Alamat kantor : MAN 3 Solok d/a Jl. Teuku Umar, Jorong Taratak Galundi, Nagari Alahan Panjang Kec. Lembah Gumanti, Kab. Solok, Sumatera Barat. Email : zulkiflimp84@gmail.com nomor HP/WA. 0812 6113 4365

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Musim Cerai, Sepenggal Kisah di Warung Kopi

Mak Sutan hanya diam memperhatikan Etek Biyai dari balik kaca etalase warung kopinya. “Terima kasih, Tek Biyai.” Sahut Angku Kali sam...