Selasa, 31 Desember 2019

Cinta Monyet Sang Remaja 3

Cinta Monyet Sang Remaja


            Andi, Husni dan Hani berjalan gontai menapaki setapak demi setapak teras sekolah mereka menuju ke kelas 2 A setelah keluar dari ruangan BK. Andi yang berjalan di posisi paling depan, tak kuasa juga menoleh ke belakang. Seandainya saja di punya kaca spion untuk mengintip ke belakang. Dia ingin tahu bagaimana reaksi dari Husni.

            Ternyata, Husni tetap saja tampak cuek. Seperti tidak ada apa-apa di antara mereka. Dia tidak ambil hati apalagi ambil pusing dengan kejadian yang baru saja menimpanya. Dia tetap dengan pendiriannya, bahwa Dia hanya menganggap Andi sebagai sahabatnya sebagaimana juga Hani dan teman-teman yang lain.

            Sementara itu, Hani justru terus saja salah tingkah. Perasaannya campur aduk. Ada senang, karena Ia telah mengutarakan apa yang ada di dalam hatinya. Ada juga rasa kecewa yang sangat mendalam. Karena ternyata Andi benar-benar tak ada rasa terhadap dirinya. Ada juga rasa bersalah, seakan-akan Ia telah mengoyak-ngoyak persahabatan mereka yang sudah terjalin selama ini. Ingin rasanya Ia berlari meninggalkan Andi dan Husni, tapi kaki-kaki mungilnya terasa berat dan tertahan. Ingin Ia menangis, tapi malu juga. Akhirnya hanya air mata yang jatuh ke dalam hatinya.

            “Ahh... cinta ini memang bak kentut !. kalau di tahan bikin sakit perut, kalau dikeluarkan, orang-orang pada ribut.” Begitu bisikan dalam hatinya.

            “Hmm... Andi...! maafkan Aku ya! Aku sudah membuatmu malu di hadapan Pak Budi. Hani mencoba memecah keheningan suasana perjalanan mereka bertiga.

            “Hey hey hey...! Hani, mestinya Kamu itu harus minta maaf sama Aku dong!”
            “Gara-gara keluguan dan kecentilan Kamu, kirim-kirim surat cinta segala. Emangnya ini zaman Siti Nurbaya Apa?” Celah Husni dengan emosinya sambil sedikit mendorong punggung Hani ke arah depan. Nyaris saja Hani jatuh tersungkur di belakang Andi yang berjalan di depan.

            “Eitt.... Sudah-sudah! Aku tidak mau kita ribut di sini, saat ini, titik! Jawab Andi dengan singkat tapi begitu menyengat bak petir di siang bolong.

            “Lah...! Ini kan masalah kalian berdua mas bro! Aku tidak mau ikut-ikutan lagi!” jawab Husni dengan ketusnya. Sambil terus berjalan ke arah kelas, Husni terlihat sangat kesal. Karena ulah mereka berdua Dia juga dapat masalah. Seumur-umur, baru kali ini Dia berusan dengan Wali Kelas sekaligus guru BK. Dimana urusannya bukanlah ulah dia sendiri.

            Sementara itu, Hani justeru merasa sedikit lega sekaligus merasa bersalah. Dia merasa lega karena sudah menyampaikan isi hatinya kepada Andi, seorang cowok yang selama ini didambakan dan dikaguminya secara sembunyi-sembunyi. Tapi di sisi lain, Hani juga merasa bersalah kepada sahabat sejatinya sendiri yang bernama Husni. Karena telah melibatkannya pada persoalan hatinya sendiri.

            Sedangkan Andi, malah merasa keki sendiri. Wibawanya selaku ketua OSIS selama ini seakan-akan runtuh dan lenyap begitu saja di hadapan pak Budi dan sahabat-sahabatnya sendiri. Coba kalau catatan itu tidak jatuh ke tangan Hani, tapi ke tangan Husni. Mungkin permasalah ini tak akan terjadi, pikirnya.

            “Ok! Sekarang begini saja. Sekarang kita kembali dulu ke kelas, tuntaskan pelajaran sampai jam terakhir. Setelah itu baru kita bicarakan lagi, gimana?” Tiba-tiba jiwa kepempinan Andi keluar juga dengan ide briliannya.
           
            “Baik, Aku setuju sekali !” Jawab Husni dengan singkat penuh semangat

            “Baiklah, Aku juga boleh ikut kan?” Tanya Hani dengan hati-hati dan agak sedikit ragu-ragu. Dia tak ingin memancing emosi Husni lagi.

            “Ya iya lah! Ini kan masalahnya berasal dari kamu! Masa kamunya gak ikut menyelasaikannya gitu?!” Sanggah Husni dengan tatapan matanya tampak begitu tajam ke arah Hani. Seperti seekor harimau sumatera yang sedang mengintai mangsanya. Bola matanya membesar, pipinya merah padam, tarikan nafasnya terdengar seperti nafas banteng yang siap menyeruduk aligatornya.

            “OK! Siapa takut!” Jawab Hani tak mau kalah juga. Tampangnya tak ubahnya seperti kucing yang meraung karena terdesak oleh segerombolan anjing. Walaupun di dalam hati, Ia tak habis fikir juga. Kenapa Husni begitu berubah sekarang. Tak seperti Husni yang dikenalnya sejak lama. Padahal mereka sudah berteman sejak SD dulu. Apa geranggan yang membuatnya begitu berbeda saat ini?

            “Ya Udah, Pokoknya nanti pulang sekolah jangan pada pulang dulu ya! Kita selesaikan dulu masalah ini secara baik-baik di kelas nanti.” Andi tampak berusaha menjaga wibawa dan juga hatinya, agar tidak ikut terseret ke dalam pusaran kemarahan Husni dan juga kegalauan dan kesedihan Hani. Walaupun di dalam hatinya sendiri juga ada gejolak yang luar biasa bagaikan ombak tsunami yang siap menyapu segala yang ada di depannya. Hati dan fikirannya terasa ingin meledak-ledak menghancurkan semua yang ada di sekitarnya. Tetapi Dia tetap berusaha tampak tenang.

            Mereka pun kembali masuk ke kelas dengan sikap yang biasa-biasa saja. Padahal mereka sedang berusaha dan berjuang mati-matian melawan perasaan dan emosi mereka masing-masing. Karena, Sudah bisa dipastikan bahwa rekan-rekan yang lain pasti akan memberondong mereka dengan sederet pertanyaan bak wartawan yang sedang memburu berita, bak hakim dan pengacara yang sedang memeriksa terdakwanya.

            Teman-teman Andi pastinya sudah bersiap sedia menunggu konferensi pers yang akan mereka lakukan. Namun, berkat pengendalian diri yang luar biasa dari Andi, Husni dan juga Hani, semua penantian mereka jadi sia-sia. Andi CS berhasil memasuki kelas dengan gaya yang sangat cool, seakan-akan tidak terjadi apa-apa di antara mereka. Seakan-akan badai yang sedang berkecamuk dan mengamuk sudah mereka lewati dengan bahagia.

****
            “Tiiiitt.... tiiiiitt.... tiiiitttt....” terdengar raungan suara bel sekolah yang sudah mulai terdengar serak karena sudah lama dipergunakan. Suaranya terdengar tak lagi kuat seperti setahun lalu ketika bel itu masih baru. Bagi Andi, Husni dan Hani, bunyi bel siang itu sangat istimewa. Seakan menanti sebuah peristiwa yang luas biasa saja.

            Seluruh siswa bergegas mengemasi tas dan segala perlengkapan mereka. Suasana belajar yang tadinya khusuk berubah menjadi kasak-kusuk. Belum sempat Ibu Ani menutup pelajaran terakhir pada hari itu, para siswa sudah bertebaran di saentero ruang kelas. Akhirnya terpaksa Dia mengeluarkan suara keras melengking yang memekakkan telinga disertai dengan bunyi penghapus papan kayu yang dipukulkan ke meja kayu sang guru. Barulah setelah itu siswa bisa duduk dan diam kembali di tempat masing-masing. Tanpa menunggu lama, langsung saja Bu Ani mentup pelajaran dengan hamdalah dan mempersilahkan siswa keluar dengan tertib setelah bersalaman dengannya.

            Lain halnya dengan Husni. Batinnya mulai bergejolak lagi, seperti gemuruh gunung berapi yang siap meletus meledak-ledak setiap saat. Tak sabar Dia mendengarkan pengakuan Hani yang dinilainya terlalu lugu itu. Dia juga penasaran dengan benih cinta Andi kepadanya. Sebegitu seriuskah Andi menaruh hati kepadanya? Atau hanya sekedar permainan kata-katanya? Ataukah hanya mencari sensasi saja?

            “Hai... Hani, Kamu sudah ready untuk pulang nih?” Sapa Andi memecahkan kesunyian kelas setelah semua siswa keluar dan kembali ke rumah masing-masing.

            “Hmmm.. Iya, Ini Aku lagi siap-siap.” Jawab Hani tanpa menoleh kepada Andi.
            “Ohhh... Enak aja kalian! Jadi begitu ya ?! Sekarang sudah terbongkar ternyata sandiwara kalian berdua!” terdengar suara Husni seperti tidak senang dengan apa yang dilihatnya.

            “eh.. Husni! Kamu mulutnya disekolahkan apa gak sih!“
            “Masa Kamu bicaranya seperti itu?” Sanggah Andi

            “Lho lho...! Kenapa Aku pula yang Kau salahkan? Aku terlibat persoalan ini kan karena ulah kalian berdua. Aku tidak mau ya, kalau terus-terusan seperti ini! Lagian, siapa juga yang siap menerima cintamu yang bagiku tak ada apa-apanya. Ingat ya! Aku tuh ke sekolah ini untuk belajar, bukan untuk pacaran seperti kalian!”
            “Apa-apan sih kalian ?! Ingus sendiri saja belum bisa kalian bereskan, masa mau ngurus orang lain pula! Masih bau kencur, tau gak?! Aku muak nengok kalian ! Aku...”

            “Eitt... tunggu... tunggu Husni! Kenapa mulutmu kayak truk yang sedang menurun lalu rem blong aja sih! Menabrak ke sana-sini. Kami bukan patung yang tak punya telinga dan hati, yang seenaknya bisa kau hujani, kau berondong dengan kata-kata pedasmu.”
            “Ingat komitmen kita tadi! Kita akan menyelesaikan ini dengan cara yang baik-baik. Bukan seperti orang yang lagi mabuk dan disambar petir seperti itu! Kamu masih punya hati gak sih? Atau otakmu sudah tidak lagi di kepala, sudah pindah ke dengkulmu?!” Andi tak terima begitu saja disalahkan dan diserang oleh Husni dengan kata-katanya yang sangat tidak sedap didengar telinga. Andi juga mulai merasa iba melihat raut muka Hani, yang sedari tadi tertunduk lesu. Kedua bola matanya nampak berkaca-kaca. Mukanya memerah, pandangannya melemah. Entah seperti apa kepedihan yang kini sedang dirasakannya.

            Suasana kelas yang tadinya sunyi, berubah menjadi tambah mencekam. Hanya sesekali terdengar Hani cecengkukan, terisak-isak dalam tangisnya. Dia belum bisa menerima perubahan sikap Husni kepadanya. Husni yang selama ini menjadi sahabat karibnya, bahkan sudah dianggapnya seperti saudara kandungnya, ternyata begitu tega menyakiti hati dan perasaannya. Kata-kata yang keluar dari mulutnya sungguh berbisa. Lebih melukai dari pedang samurai sekalipun.
            Hani pun langsung berusaha berdiri, walau terasa sepeti sedang memikul beban yang teramat berat di pundaknya. Diraihnya tas sekolah warna merah hati yang sudah dikemasnya sejak tadi. Disempatkannya juga melayangkan pandangan jauh yang kosong ke arah Andi dan Husni. Tak ada lagi kata-kata yang mampu terucap dari bibirnya yang sudah kalu. Relung hatinya terasa begitu pedih dan nyeri, menyesakkan dadanya. Nafasnya tersengal, darahnya mengalir deras seperti air bah yang tumpah dari puncak gunung.

            Hani berlari sekuat tenaga, keluar dari kelas menuju jalan raya di depan sekolah mereka. Tak lagi dihiraukannya Andi yang berusaha mengejar dan menghentikannya. Bahkan teriakan Husni dan beberapa temannya yang lain pun tak lagi dihiraukannya. Dia terus berlari sekencang-kencangnya seperti orang kesetanan.

Namun, tiba-tiba langkah kakinya terhenti. Kakinya berat bahkan terasa lengket di aspal jalan yang panas itu. Selayang pandangan matanya tertuju kepada sebuah mobil sedan berwarna hijau tua yang melaju berpacu cepat dengannya di jalan itu. “Gubrak...!”  tubuh mungilnya terpental sejauh beberapa meter walaupun mobil sudah berhenti karena mengerem mendadak .

Semua orang yang berada di sekitar tempat itu menjadi histeris. Mereka seakan tak percaya dengan kejadian yang mereka saksikan dengan mata kepala mereka sendiri. Di mana, salah seorang teman mereka tertabrak mobil sedan yang sedang melaju kencang. Bahkan lampu depannya terlihat tidak lagi pada posisinya. Sementara itu, Hani terkapar di atas aspal panas jalan raya yang sedang menyala diterpa teriknya sinar matahari siang itu. Sejurus kemudian, terlihat darah segar mulai mengucur melalui lubang hidung dan telinganya.

Semuanya terlihat panik. Tak terkecuali Andi dan Husni yang bergegas berlari ke arah jalan tersebut menghampiri Hani yang terbaring tak berdaya. Mereka terlihat sangat syok mendapati keadaan sahabatnya tersebut. Apalagi mengingat, karena ulah merekalah Hani berlari sambil menangis dan tak terkendali ke arah jalan itu. Sementara itu, Pak Budi pun yang masih berada di ruangannya segera berlari menyeruak kerumunan orang-orang yang berada di sana. Dia juga terlihat sangat syok.

Tanpa berfikir panjang, Pak Budi, Andi dan Husni langsung mengobrol dengan sang sopir sedan untuk segera membawa Hani ke rumah sakit terdekat. Tetapi, karena sopirnya juga mengalami trauma yang berat, akhirnya Dia tidak bersedia untuk menyopiri mereka. Namun Dia mempersilahkan Pak Budi untuk membawa Hani dengan mobilnya ke rumah sakit.

Sepanjang perjalanan, tak satu kata pun terlontar dari mulut Husni dan Andi karena melihat parahnya kondisi Hani. Andi tampak berusaha mengemasi tas sekolah Hani yang masih bergelayut di badannya dengan membuka pengait tali tasnya. Sejurus kemudian tas itu disimpannya ke dalam tas sekolahnya yang ukurannya lebih besar.

Setelah sampai di rumah sakit, segera Hani ditolong oleh para suster dan dokter jaga IGD yang langsung membawanya ke ruangan IGD. Setelah Hani berada di dalam, suster pun segera menutup pintu dan mempersilahkan Pak Budi, Andi dan Husni untuk menunggu di luar. Kemudian, Pak Budi pun meminta Husni untuk segera pulang memberitahukan kepada keluarga Hani. Karena memang mereka tinggal di daerah yang berdekatan dan Pak Budi tahu, kalau Husni sangat dikenal oleh keluarga Hani sebagai sahabat dekatnya.

“Hani, Kamu pulanglah dulu. Beritahukan kepada keluarga Hani tentang peristiwa ini dengan baik-baik ya! Dan langsung Kamu bawa mereka ke sini.”  Begitu perintah Pak Budi kepada Husni sambil mengeluarkan selembar uang lima puluh ribu untuk persiapan ongkos Husni dan keluarga Hani seandainya mereka sedang tidak uang. Karena Pak Budi tahu betul bagaimana kondisi keluarga Hani.
“Tapi, Pak... Aku ingin...”
“Tidak ada tapi-tapi lagi Husni! Segeralah berangkat. Biar Bapak dan Andi yang menjaga Hani di sini. Semoga saja luka-lukanya tidak terlalu parah. Yang penting kamu ngomongnya dengan tenang dan baik-baik ya!” Tegas Pak Budi.
“Baik, Pak...!” Jawab Husni langsung berjalan ke arah Jalan.

Sementara itu, Andi teringat dengan tas milik Hani tadi. Segera Dia membuka tasnya dan mengeluarkan tas Hani. Ternyata tas Hani tak sepenuhnya tertutup dengan sempurna. Mungkin karena Dia menutupnya dengan terburu-buru tadi. Sepintas Andi melihat sepucuk kertas merah muda yang terselip di antara buku-buku pelajaran Hani. Andi pun langsung berusaha meraih dan mengeluarkannya. Namun, karena ada Pak Budi, Akhirnya Dia mencari cara dengan meminta izin Pak Budi untuk pergi ke toilet rumah sakit. Walaupun sebenarnya Andi tak bermaksud ke toilet sama sekali.

Begitu sampai di sebuah taman, Andi mulai membuka kertas merah muda tadi dan membaca isinya. Ternyata isinya adalah curahan hati Hani yang sempat ditulisnya sebelum jam pelajaran terakhir tadi usai.

Dear Andi dan Husni.
Aku berharap kalian berdua mampu memahami dan membaca suratku ini dengan baik, tanpa terlebih dahulu berburuk sangka kepadaku. Surat ini ku tulis sebagai jawabanku terhadap kenyataan yang kini kita alami bersama-sama.

Andi, jujur saja Aku sangat kecewa dengan sikapmu yang ternyata lebih menaruh hati kepada sahabatku, Husni. Aku sadar bahwa perasaan itu adalah sesuatu yang tidak bisa dipaksakan. Tapi, Aku hanya ingin Kau tahu bahwa di jauh di dalam relung hatiku sudah lama tersemai  dan tumbuh benih cintaku kepadamu. Bagiku, Kau bukan hanya sebagai sahabat. Tetapi Kaulah yang Aku kagum-kagumi selama ini walaupun hanya secara diam-diam saja. Aku tak punya nyali yang kuat untuk mengutarakannya langsung kepadamu, walau dorongan di dalam hatiku begitu kerasnya.
Meskipun kenyataannya, Kau lebih memilih Husni, sahabatku sendiri. Aku ikhlas kok. Bagiku melihat Kau bahagia adalah kebahagiaanku juga. Walaupun masih hatiku masih berharap Kau bisa menerimaku sebagai tambatan hatimu.

Husni, Ku tak tahu persis apa yang sekarang ada di hatimu. Aku kecewa, persahabatan kita harus hancur karena masalah hati ini. Ku berharap Kau bisa merima Andi sebagai kekasih. Karena Dia adalah orang yang selama ini telah menaruh hati kepadamu. Aku tidak ingin persahabatan ini mejadi hancur berantakan hanya karena rasa ini. Aku rela mengubur rasa ini dalam-dalam, asalkan Kau bisa menerimanya. Biarlah kan Ku bawa hati ini pergi menjauh dari kalian berdua, walaupun fisik kita masih berdekatan. Tetapi, Aku tidak bisa terima dengan kata-katamu yang sangat tajam menusuk hatiku.
Andi, Husni...
Ku berharap kalian bisa berbahagia, walaupun tanpa kehadiranku lagi.
                                                           
                                                Dari sahabatmu yang terluka
                                                Hani.

            Tak terasa cairan putih bening yang sedikit panas itu mengalir deras di pipi Andi. Jiwa laki-lakinya yang selama ini tampak tegas berwibawa seakan rontok begitu saja karena membaca curahan hati Hani dan surat tadi. Akankah ini pertanda, bahwa Hani benar-benar akan pergi untuk selamanya dari kehidupannya? Benarkah begitu dalamnya perasaan cinta dalam hati Hani kepadanya sehingga dia bahkan merelakan hatinya hancur demi sahabatnya Husni, demi kebahagian orang yang dicintainya? Duh.. seandainya saja Dia benar-benar pergi dari dunia ini...

            Namun, Andi tak ingin berlarut-larut dengan hatinya. Segera dimasukkan lagi surat itu ke dalam tasnya Hani. Berharap suatu saat nanti Husni bisa membacanya juga. Karena setelah Husni kembali nanti, Andi akan menitipkan tas Hani kepada Husni. Dia pun segera menyeka air matanya dengan tujuan agar Pak Budi tak melihatnya menangis. Dia pasti tak sanggup menjawab segudang pertanyaan gurunya itu, jika surat itu sampai ke tangan Pak Budi.

            Sementara itu, di depan ruang IGD tampak Pak Budi sudah ditemani oleh kedua orang tua Hani dan juga Husni. Karena kebetulan tadi adalah hari pasar, di mana kedua orang tua Hani biasa berjualan di pasar yang tidak jauh dari rumah sakit tersebut. Kesedihan dan duka yang mendalam jelas terlihat di wajah mereka yang sudah mulai dimakan usia. Andi pun berusaha menyapa dan memperkenalkan diri kepada mereka berdua dan mendo’akan kebaikan bagi Hani.

            Tak lama kemudian, Andi pun mengajak Husni untuk beristirahat sambil menunggu dokter mengobati Hani di sebuah taman yang terletak di belakang ruang IGD tersebut. Husni pun menurut saja. Dia tak ingin lagi ribut-ribut dengan Andi sementara sahabatnya Husni sedang berjuang melewati masa kritisnya yang juga disebabkan oleh mereka berdua.

            Setelah sampai di taman, Andi pun menyerahkan tas Hani. Dia pun mengisyaratkan kepada Husni untuk membaca sepucuk surat yang ada di dalamnya. Husni nampak begitu terkejut, ternyata Hani sempat menulis surat curahan hatinya tanpa sepengetahuannya. Dengan tangan sedikit bergetar, Dia pegang surat itu dan dibacanya dengan penuuh penghayatan. Sungguh batinnya terasa tersayat-sayat sembilu. Hatinya pilu membisu.
            Sejurus kemudian dipandangnya Andi yang sedari tadi tampak memperhatikannya ketika membaca surat itu.

            “Andi, Maafkan Aku... karena keegoanku semua ini terjadi pada sahabat kita Hani.”  Suaranya terdengar serak menahan gejolak batinnya.

            “Sudahlah Husni, semuanya sudah terjadi. Aku juga merasa bersalah telah melibatkan kalian berdua dalam masalah ini. Aku sangat sedih dengan keadaan Hani sekarang. Aku tek bisa membayangkan kalau Aku yang berada di posisinya. Aku....” kalimat terpotong karena tenggorokannya terasa tersekat, seakan hatinya menyesak ke atas ingin menemui Hani yang terbaring lemah.
           
“Andi... Aku sekarang menyadari, bahwa Kau begitu mengharapkanku. Tapi Aku juga tidak akan tega mengkhianati dan menghancurkan perasaan sahabatku sendiri. Walau, Aku juga tidak bisa membohongi perasaanku sendiri kepadamu.” Akhirnya Husni pun berterus terang dangan perasaannya terhadap Andi, yang selama ini tak diperlihatkannya sama sekali.

“Sekarang ini, yang lebih penting adalah keselamatan dan kepulihan Hani dulu. Aku pun berharap rasa ini sama-sama kita simpan saja dulu, sampai tiba waktunya tepat, baru kita bicarakan lagi bersama-sama dengan Hani. Aku sangat berharap, Dia benar-benar tidak akan pergi untuk selamanya. Dengan cara yang sangat kejam seperti ini. Aku masih ingin melihat kalian berdua bersahabat, bercanda ria bersama-sama dalam suka dan duka. Aku berharap kejadian ini bisa menyadarkan kita pentingnya arti sahabat di atas yang lainnya. Jawab Andi dengan hati-hati.

“Baiklah, Aku setuju. Mari kita sama-sama berdo’a untuk kesembuhan sahabat kita Hani.” Jawab Husni sambil langsung berdiri dan beranjak bersama-sama dengan Andi menuju ruangan di depan IGD, di mana Pak Budi dan kedua orang tua Hani menunggu tadi.

Tiba-tiba pintu ruang IGD mulai terbuka. Tampak seorang dokter sudah berumur keluar dari ruangan itu didampingi oleh beberapa orang perawat di belakangnya. Dari raut wajahnya, tampak sekali sebuah kesedihan yang luar biasa. 

“Maaf, Bapak dan Ibu. Boleh kita berbicara sebentar di ruangan sebelah?” Sapa Dokter tersebut.
“Baik, Pak!” Jawab Pak Budi dan orang tua Hani sambil mengikuti dokter ke ruangan sebelahnya. Andi dan Husni juga mengikuti mereka dari belakang.

Setelah mempersilahkan mereka untuk duduk di kursi yang terlah tersedia di ruangan yang berukuran 3x4 meter itu, dokter pun langsung memperkenalkan diri dan menanyakan keluarga Hani. Setelah itu, barulah dokter menjelaskan kondisi Hani yang sebenarnya.

“Bapak, Ibu... Maaf, kami telah berusaha sebaik mungkin. Tapi Hani tampaknya masih butuh waktu lebih untuk melewati masa kritisnya. Luka dalam di kepalanya akibat terbentur tadi memang sangat parah. Dia butuh istirahat total untuk bisa pulih kembali. Kami berharap, Bapak dan Ibu bisa bersabar menghadapi musibah ini. Insya Allah, Kami akan berusaha dengan sungguh-sungguh demi menyelamatkan putri Bapak dan Ibu. Sekarang berikanlah Kami waktu untuk menolongnya. Jangan lupa bantu kami dengan do’a yang tulus, semoga Allah memberikan kekuatan kepada Hani agar bisa melewati masa kritisnya.” Begitu penjelasan dokter tersebut kepada orang tua Hani, Pak Budi, Andi dan juga Husni.

Dokter juga menyatakan bahwa Hani butuh darah golongan B sebanyak dua kantong, untuk mengatasi kekurangan darah yang dialaminnya karena kecelakaan tadi. Dia berharap pihak keluarga segera menghubungi pihak PMI di rumah sakit ini untuk mencari bantuan darah.
“Maaf, Pak! Kalau tidak salah golongan darah saya juga B, Pak!” Tiba-tiba Andi mengeluarkan suaranya.
“Baik, Kalau begitu silahkan Kamu periksakan di PMI ya, Nak! Semoga kamu bisa menolong Hani nantinya.” Jawab Dokter
“Kalau begitu, Saya juga ingin mendonorkan darah Saya, Pak!” Jawab Husni tak mau ketinggalan pula.
“Silahkan, Nak! Semoga pengorbanan kalian tidak sia-sia, Aamiin.” Jawab dokter dengan singkat. Dan tanpa berbasa-basi lagi, dokter langsung mohon diri dan mempersilahkan mereka untuk kembali menunggu di ruangan yang telah disediakan sambil melengkapi administrasinya dan menyiapkan donor darahnya di bagian PMI.

Dalam hati kecilnya, Andi dan Husni benar-benar berharap bisa mendonorkan darah mereka bagi Hani. Mereka akan merasa sangat bersalah seandainya tidak bisa berbuat apa-apa untuk menyelamatkan nyawa sahabat mereka sendiri. Mereka pun bergegas menuju ke ruangan PMI setelah terlebih dahulu bertanya kepada satpam tentang letak ruangan tersebut.

Setelah berada di sana, mereka pun menyampaikan maksudnya kepada petugas di situ. Setelah diperiksa dengan seksama, ternyata hanya darah Andi yang benar-benar cocok dengan Hani. Dan kondisi Andi pun memungkinkan untuk mendonorkan darahnya. Andi benar-benar lega dan seakan bisa mengurangi rasa bersalahnya kepada Hani. Sementara itu, Husni tidak bisa ikut mendonorkan darahnya, karena golongan darahnya berbeda dengan Hani. Namun, Dia tidak patah semangat. Dia akan menolong Hani dengan cara yang lain, yaitu dengan meminta kepada orang tuanya agar membantu orang tua Hani  dalam urusan biaya perawatan Hani selama dirawat di rumah sakit tersebut.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Musim Cerai, Sepenggal Kisah di Warung Kopi

Mak Sutan hanya diam memperhatikan Etek Biyai dari balik kaca etalase warung kopinya. “Terima kasih, Tek Biyai.” Sahut Angku Kali sam...