Andi,
Husni dan Hani berjalan gontai menapaki setapak demi setapak teras sekolah
mereka menuju ke kelas 2 A setelah keluar dari ruangan BK. Andi yang berjalan
di posisi paling depan, tak kuasa juga menoleh ke belakang. Seandainya saja di
punya kaca spion untuk mengintip ke belakang. Dia ingin tahu bagaimana reaksi
dari Husni.
Ternyata,
Husni tetap saja tampak cuek. Seperti tidak ada apa-apa di antara mereka. Dia
tidak ambil hati apalagi ambil pusing dengan kejadian yang baru saja
menimpanya. Dia tetap dengan pendiriannya, bahwa Dia hanya menganggap Andi
sebagai sahabatnya sebagaimana juga Hani dan teman-teman yang lain.
Sementara
itu, Hani justru terus saja salah tingkah. Perasaannya campur aduk. Ada senang,
karena Ia telah mengutarakan apa yang ada di dalam hatinya. Ada juga rasa
kecewa yang sangat mendalam. Karena ternyata Andi benar-benar tak ada rasa
terhadap dirinya. Ada juga rasa bersalah, seakan-akan Ia telah mengoyak-ngoyak
persahabatan mereka yang sudah terjalin selama ini. Ingin rasanya Ia berlari
meninggalkan Andi dan Husni, tapi kaki-kaki mungilnya terasa berat dan
tertahan. Ingin Ia menangis, tapi malu juga. Akhirnya hanya air mata yang jatuh
ke dalam hatinya.
“Ahh...
cinta ini memang bak kentut !. kalau di tahan bikin sakit perut, kalau
dikeluarkan, orang-orang pada ribut.” Begitu bisikan dalam hatinya.
“Hmm...
Andi...! maafkan Aku ya! Aku sudah membuatmu malu di hadapan Pak Budi. Hani mencoba memecah keheningan
suasana perjalanan mereka bertiga.
“Hey
hey hey...! Hani, mestinya Kamu itu harus minta maaf sama Aku dong!”
“Gara-gara
keluguan dan kecentilan Kamu, kirim-kirim surat cinta segala. Emangnya ini
zaman Siti Nurbaya Apa?” Celah Husni dengan emosinya sambil sedikit mendorong punggung Hani ke
arah depan. Nyaris saja Hani jatuh tersungkur di belakang Andi yang berjalan di
depan.
“Eitt....
Sudah-sudah! Aku tidak mau kita ribut di sini, saat ini, titik! Jawab Andi dengan singkat tapi
begitu menyengat bak petir di siang bolong.
“Lah...!
Ini kan masalah kalian berdua mas bro! Aku tidak mau ikut-ikutan lagi!” jawab Husni dengan ketusnya. Sambil
terus berjalan ke arah kelas, Husni terlihat sangat kesal. Karena ulah mereka
berdua Dia juga dapat masalah. Seumur-umur, baru kali ini Dia berusan dengan
Wali Kelas sekaligus guru BK. Dimana urusannya bukanlah ulah dia sendiri.
Sementara
itu, Hani justeru merasa sedikit lega sekaligus merasa bersalah. Dia merasa
lega karena sudah menyampaikan isi hatinya kepada Andi, seorang cowok yang
selama ini didambakan dan dikaguminya secara sembunyi-sembunyi. Tapi di sisi
lain, Hani juga merasa bersalah kepada sahabat sejatinya sendiri yang bernama
Husni. Karena telah melibatkannya pada persoalan hatinya sendiri.
Sedangkan
Andi, malah merasa keki sendiri. Wibawanya selaku ketua OSIS selama ini
seakan-akan runtuh dan lenyap begitu saja di hadapan pak Budi dan
sahabat-sahabatnya sendiri. Coba kalau catatan itu tidak jatuh ke tangan Hani,
tapi ke tangan Husni. Mungkin permasalah ini tak akan terjadi, pikirnya.
“Ok!
Sekarang begini saja. Sekarang kita kembali dulu ke kelas, tuntaskan pelajaran
sampai jam terakhir. Setelah itu baru kita bicarakan lagi, gimana?” Tiba-tiba jiwa kepempinan Andi
keluar juga dengan ide briliannya.
“Baik,
Aku setuju sekali !” Jawab Husni dengan singkat penuh semangat
“Baiklah,
Aku juga boleh ikut kan?” Tanya Hani dengan hati-hati dan agak sedikit
ragu-ragu. Dia tak ingin memancing emosi Husni lagi.
“Ya
iya lah! Ini kan masalahnya berasal dari kamu! Masa kamunya gak ikut menyelasaikannya
gitu?!” Sanggah Husni dengan tatapan matanya tampak begitu tajam ke arah
Hani. Seperti seekor harimau sumatera yang sedang mengintai mangsanya. Bola
matanya membesar, pipinya merah padam, tarikan nafasnya terdengar seperti nafas
banteng yang siap menyeruduk aligatornya.
“OK!
Siapa takut!” Jawab Hani tak mau kalah juga. Tampangnya tak ubahnya seperti
kucing yang meraung karena terdesak oleh segerombolan anjing. Walaupun di dalam
hati, Ia tak habis fikir juga. Kenapa Husni begitu berubah sekarang. Tak
seperti Husni yang dikenalnya sejak lama. Padahal mereka sudah berteman sejak
SD dulu. Apa geranggan yang membuatnya begitu berbeda saat ini?
“Ya
Udah, Pokoknya nanti pulang sekolah jangan pada pulang dulu ya! Kita selesaikan
dulu masalah ini secara baik-baik di kelas nanti.” Andi tampak berusaha
menjaga wibawa dan juga hatinya, agar tidak ikut terseret ke dalam pusaran
kemarahan Husni dan juga kegalauan dan kesedihan Hani. Walaupun di dalam
hatinya sendiri juga ada gejolak yang luar biasa bagaikan ombak tsunami yang
siap menyapu segala yang ada di depannya. Hati dan fikirannya terasa ingin
meledak-ledak menghancurkan semua yang ada di sekitarnya. Tetapi Dia tetap
berusaha tampak tenang.
Mereka
pun kembali masuk ke kelas dengan sikap yang biasa-biasa saja. Padahal mereka
sedang berusaha dan berjuang mati-matian melawan perasaan dan emosi mereka
masing-masing. Karena, Sudah bisa dipastikan bahwa rekan-rekan yang lain pasti
akan memberondong mereka dengan sederet pertanyaan bak wartawan yang sedang
memburu berita, bak hakim dan pengacara yang sedang memeriksa terdakwanya.
Teman-teman
Andi pastinya sudah bersiap sedia menunggu konferensi pers yang akan mereka
lakukan. Namun, berkat pengendalian diri yang luar biasa dari Andi, Husni dan
juga Hani, semua penantian mereka jadi sia-sia. Andi CS berhasil memasuki kelas
dengan gaya yang sangat cool, seakan-akan tidak terjadi apa-apa di
antara mereka. Seakan-akan badai yang sedang berkecamuk dan mengamuk sudah
mereka lewati dengan bahagia.
****
“Tiiiitt....
tiiiiitt.... tiiiitttt....” terdengar raungan suara bel sekolah yang sudah
mulai terdengar serak karena sudah lama dipergunakan. Suaranya terdengar tak
lagi kuat seperti setahun lalu ketika bel itu masih baru. Bagi Andi, Husni dan
Hani, bunyi bel siang itu sangat istimewa. Seakan menanti sebuah peristiwa yang
luas biasa saja.
Seluruh
siswa bergegas mengemasi tas dan segala perlengkapan mereka. Suasana belajar
yang tadinya khusuk berubah menjadi kasak-kusuk. Belum sempat Ibu Ani menutup
pelajaran terakhir pada hari itu, para siswa sudah bertebaran di saentero ruang
kelas. Akhirnya terpaksa Dia mengeluarkan suara keras melengking yang
memekakkan telinga disertai dengan bunyi penghapus papan kayu yang dipukulkan
ke meja kayu sang guru. Barulah setelah itu siswa bisa duduk dan diam kembali
di tempat masing-masing. Tanpa menunggu lama, langsung saja Bu Ani mentup
pelajaran dengan hamdalah dan mempersilahkan siswa keluar dengan tertib setelah
bersalaman dengannya.
Lain
halnya dengan Husni. Batinnya mulai bergejolak lagi, seperti gemuruh gunung
berapi yang siap meletus meledak-ledak setiap saat. Tak sabar Dia mendengarkan
pengakuan Hani yang dinilainya terlalu lugu itu. Dia juga penasaran dengan
benih cinta Andi kepadanya. Sebegitu seriuskah Andi menaruh hati kepadanya?
Atau hanya sekedar permainan kata-katanya? Ataukah hanya mencari sensasi saja?
“Hai...
Hani, Kamu sudah ready untuk pulang nih?” Sapa Andi memecahkan kesunyian
kelas setelah semua siswa keluar dan kembali ke rumah masing-masing.
“Hmmm..
Iya, Ini Aku lagi siap-siap.” Jawab Hani tanpa menoleh kepada Andi.
“Ohhh...
Enak aja kalian! Jadi begitu ya ?! Sekarang sudah terbongkar ternyata sandiwara
kalian berdua!”
terdengar suara Husni seperti tidak senang dengan apa yang dilihatnya.
“eh..
Husni! Kamu mulutnya disekolahkan apa gak sih!“
“Masa
Kamu bicaranya seperti itu?” Sanggah Andi
“Lho
lho...! Kenapa Aku pula yang Kau salahkan? Aku terlibat persoalan ini kan
karena ulah kalian berdua. Aku tidak mau ya, kalau terus-terusan seperti ini!
Lagian, siapa juga yang siap menerima cintamu yang bagiku tak ada apa-apanya.
Ingat ya! Aku tuh ke sekolah ini untuk belajar, bukan untuk pacaran seperti
kalian!”
“Apa-apan
sih kalian ?! Ingus sendiri saja belum bisa kalian bereskan, masa mau ngurus
orang lain pula! Masih bau kencur, tau gak?! Aku muak nengok kalian ! Aku...”
“Eitt...
tunggu... tunggu Husni! Kenapa mulutmu kayak truk yang sedang menurun lalu rem
blong aja sih! Menabrak ke sana-sini. Kami bukan patung yang tak punya telinga
dan hati, yang seenaknya bisa kau hujani, kau berondong dengan kata-kata
pedasmu.”
“Ingat
komitmen kita tadi! Kita akan menyelesaikan ini dengan cara yang baik-baik.
Bukan seperti orang yang lagi mabuk dan disambar petir seperti itu! Kamu masih
punya hati gak sih? Atau otakmu sudah tidak lagi di kepala, sudah pindah ke
dengkulmu?!” Andi
tak terima begitu saja disalahkan dan diserang oleh Husni dengan kata-katanya
yang sangat tidak sedap didengar telinga. Andi juga mulai merasa iba melihat
raut muka Hani, yang sedari tadi tertunduk lesu. Kedua bola matanya nampak
berkaca-kaca. Mukanya memerah, pandangannya melemah. Entah seperti apa
kepedihan yang kini sedang dirasakannya.
Suasana
kelas yang tadinya sunyi, berubah menjadi tambah mencekam. Hanya sesekali
terdengar Hani cecengkukan, terisak-isak dalam tangisnya. Dia belum bisa
menerima perubahan sikap Husni kepadanya. Husni yang selama ini menjadi sahabat
karibnya, bahkan sudah dianggapnya seperti saudara kandungnya, ternyata begitu
tega menyakiti hati dan perasaannya. Kata-kata yang keluar dari mulutnya
sungguh berbisa. Lebih melukai dari pedang samurai sekalipun.
Hani
pun langsung berusaha berdiri, walau terasa sepeti sedang memikul beban yang
teramat berat di pundaknya. Diraihnya tas sekolah warna merah hati yang sudah
dikemasnya sejak tadi. Disempatkannya juga melayangkan pandangan jauh yang
kosong ke arah Andi dan Husni. Tak ada lagi kata-kata yang mampu terucap dari
bibirnya yang sudah kalu. Relung hatinya terasa begitu pedih dan nyeri,
menyesakkan dadanya. Nafasnya tersengal, darahnya mengalir deras seperti air
bah yang tumpah dari puncak gunung.
Hani
berlari sekuat tenaga, keluar dari kelas menuju jalan raya di depan sekolah
mereka. Tak lagi dihiraukannya Andi yang berusaha mengejar dan menghentikannya.
Bahkan teriakan Husni dan beberapa temannya yang lain pun tak lagi
dihiraukannya. Dia terus berlari sekencang-kencangnya seperti orang kesetanan.
Namun, tiba-tiba langkah
kakinya terhenti. Kakinya berat bahkan terasa lengket di aspal jalan yang panas
itu. Selayang pandangan matanya tertuju kepada sebuah mobil sedan berwarna
hijau tua yang melaju berpacu cepat dengannya di jalan itu. “Gubrak...!” tubuh mungilnya terpental sejauh beberapa
meter walaupun mobil sudah berhenti karena mengerem mendadak .
Semua orang yang berada
di sekitar tempat itu menjadi histeris. Mereka seakan tak percaya dengan
kejadian yang mereka saksikan dengan mata kepala mereka sendiri. Di mana, salah
seorang teman mereka tertabrak mobil sedan yang sedang melaju kencang. Bahkan lampu
depannya terlihat tidak lagi pada posisinya. Sementara itu, Hani terkapar di
atas aspal panas jalan raya yang sedang menyala diterpa teriknya sinar matahari
siang itu. Sejurus kemudian, terlihat darah segar mulai mengucur melalui lubang
hidung dan telinganya.
Semuanya terlihat panik.
Tak terkecuali Andi dan Husni yang bergegas berlari ke arah jalan tersebut
menghampiri Hani yang terbaring tak berdaya. Mereka terlihat sangat syok
mendapati keadaan sahabatnya tersebut. Apalagi mengingat, karena ulah merekalah
Hani berlari sambil menangis dan tak terkendali ke arah jalan itu. Sementara
itu, Pak Budi pun yang masih berada di ruangannya segera berlari menyeruak
kerumunan orang-orang yang berada di sana. Dia juga terlihat sangat syok.
Tanpa berfikir panjang,
Pak Budi, Andi dan Husni langsung mengobrol dengan sang sopir sedan untuk
segera membawa Hani ke rumah sakit terdekat. Tetapi, karena sopirnya juga
mengalami trauma yang berat, akhirnya Dia tidak bersedia untuk menyopiri
mereka. Namun Dia mempersilahkan Pak Budi untuk membawa Hani dengan mobilnya ke
rumah sakit.
Sepanjang perjalanan, tak
satu kata pun terlontar dari mulut Husni dan Andi karena melihat parahnya
kondisi Hani. Andi tampak berusaha mengemasi tas sekolah Hani yang masih
bergelayut di badannya dengan membuka pengait tali tasnya. Sejurus kemudian tas
itu disimpannya ke dalam tas sekolahnya yang ukurannya lebih besar.
Setelah sampai di rumah
sakit, segera Hani ditolong oleh para suster dan dokter jaga IGD yang langsung
membawanya ke ruangan IGD. Setelah Hani berada di dalam, suster pun segera
menutup pintu dan mempersilahkan Pak Budi, Andi dan Husni untuk menunggu di
luar. Kemudian, Pak Budi pun meminta Husni untuk segera pulang memberitahukan
kepada keluarga Hani. Karena memang mereka tinggal di daerah yang berdekatan
dan Pak Budi tahu, kalau Husni sangat dikenal oleh keluarga Hani sebagai
sahabat dekatnya.
“Hani, Kamu pulanglah
dulu. Beritahukan kepada keluarga Hani tentang peristiwa ini dengan baik-baik
ya! Dan langsung Kamu bawa mereka ke sini.” Begitu
perintah Pak Budi kepada Husni sambil mengeluarkan selembar uang lima puluh
ribu untuk persiapan ongkos Husni dan keluarga Hani seandainya mereka sedang
tidak uang. Karena Pak Budi tahu betul bagaimana kondisi keluarga Hani.
“Tapi, Pak... Aku
ingin...”
“Tidak ada tapi-tapi
lagi Husni! Segeralah berangkat. Biar Bapak dan Andi yang menjaga Hani di sini.
Semoga saja luka-lukanya tidak terlalu parah. Yang penting kamu ngomongnya
dengan tenang dan baik-baik ya!” Tegas Pak Budi.
“Baik, Pak...!” Jawab Husni langsung berjalan ke
arah Jalan.
Sementara itu, Andi
teringat dengan tas milik Hani tadi. Segera Dia membuka tasnya dan mengeluarkan
tas Hani. Ternyata tas Hani tak sepenuhnya tertutup dengan sempurna. Mungkin
karena Dia menutupnya dengan terburu-buru tadi. Sepintas Andi melihat sepucuk
kertas merah muda yang terselip di antara buku-buku pelajaran Hani. Andi pun
langsung berusaha meraih dan mengeluarkannya. Namun, karena ada Pak Budi,
Akhirnya Dia mencari cara dengan meminta izin Pak Budi untuk pergi ke toilet
rumah sakit. Walaupun sebenarnya Andi tak bermaksud ke toilet sama sekali.
Begitu sampai di sebuah
taman, Andi mulai membuka kertas merah muda tadi dan membaca isinya. Ternyata
isinya adalah curahan hati Hani yang sempat ditulisnya sebelum jam pelajaran
terakhir tadi usai.
Dear Andi dan Husni.
Aku
berharap kalian berdua mampu memahami dan membaca suratku ini dengan baik,
tanpa terlebih dahulu berburuk sangka kepadaku. Surat ini ku tulis sebagai
jawabanku terhadap kenyataan yang kini kita alami bersama-sama.
Andi,
jujur saja Aku sangat kecewa dengan sikapmu yang ternyata lebih menaruh hati
kepada sahabatku, Husni. Aku sadar bahwa perasaan itu adalah sesuatu yang tidak
bisa dipaksakan. Tapi, Aku hanya ingin Kau tahu bahwa di jauh di dalam relung
hatiku sudah lama tersemai dan tumbuh
benih cintaku kepadamu. Bagiku, Kau bukan hanya sebagai sahabat. Tetapi Kaulah
yang Aku kagum-kagumi selama ini walaupun hanya secara diam-diam saja. Aku tak
punya nyali yang kuat untuk mengutarakannya langsung kepadamu, walau dorongan
di dalam hatiku begitu kerasnya.
Meskipun
kenyataannya, Kau lebih memilih Husni, sahabatku sendiri. Aku ikhlas kok.
Bagiku melihat Kau bahagia adalah kebahagiaanku juga. Walaupun masih hatiku
masih berharap Kau bisa menerimaku sebagai tambatan hatimu.
Husni,
Ku tak tahu persis apa yang sekarang ada di hatimu. Aku kecewa, persahabatan
kita harus hancur karena masalah hati ini. Ku berharap Kau bisa merima Andi
sebagai kekasih. Karena Dia adalah orang yang selama ini telah menaruh hati
kepadamu. Aku tidak ingin persahabatan ini mejadi hancur berantakan hanya
karena rasa ini. Aku rela mengubur rasa ini dalam-dalam, asalkan Kau bisa
menerimanya. Biarlah kan Ku bawa hati ini pergi menjauh dari kalian berdua,
walaupun fisik kita masih berdekatan. Tetapi, Aku tidak bisa terima dengan
kata-katamu yang sangat tajam menusuk hatiku.
Andi,
Husni...
Ku
berharap kalian bisa berbahagia, walaupun tanpa kehadiranku lagi.
Dari
sahabatmu yang terluka
Hani.
Tak
terasa cairan putih bening yang sedikit panas itu mengalir deras di pipi Andi.
Jiwa laki-lakinya yang selama ini tampak tegas berwibawa seakan rontok begitu
saja karena membaca curahan hati Hani dan surat tadi. Akankah ini pertanda,
bahwa Hani benar-benar akan pergi untuk selamanya dari kehidupannya? Benarkah
begitu dalamnya perasaan cinta dalam hati Hani kepadanya sehingga dia bahkan
merelakan hatinya hancur demi sahabatnya Husni, demi kebahagian orang yang
dicintainya? Duh.. seandainya saja Dia benar-benar pergi dari dunia ini...
Namun,
Andi tak ingin berlarut-larut dengan hatinya. Segera dimasukkan lagi surat itu
ke dalam tasnya Hani. Berharap suatu saat nanti Husni bisa membacanya juga.
Karena setelah Husni kembali nanti, Andi akan menitipkan tas Hani kepada Husni.
Dia pun segera menyeka air matanya dengan tujuan agar Pak Budi tak melihatnya
menangis. Dia pasti tak sanggup menjawab segudang pertanyaan gurunya itu, jika
surat itu sampai ke tangan Pak Budi.
Sementara
itu, di depan ruang IGD tampak Pak Budi sudah ditemani oleh kedua orang tua
Hani dan juga Husni. Karena kebetulan tadi adalah hari pasar, di mana kedua
orang tua Hani biasa berjualan di pasar yang tidak jauh dari rumah sakit
tersebut. Kesedihan dan duka yang mendalam jelas terlihat di wajah mereka yang
sudah mulai dimakan usia. Andi pun berusaha menyapa dan memperkenalkan diri
kepada mereka berdua dan mendo’akan kebaikan bagi Hani.
Tak
lama kemudian, Andi pun mengajak Husni untuk beristirahat sambil menunggu
dokter mengobati Hani di sebuah taman yang terletak di belakang ruang IGD
tersebut. Husni pun menurut saja. Dia tak ingin lagi ribut-ribut dengan Andi
sementara sahabatnya Husni sedang berjuang melewati masa kritisnya yang juga
disebabkan oleh mereka berdua.
Setelah
sampai di taman, Andi pun menyerahkan tas Hani. Dia pun mengisyaratkan kepada
Husni untuk membaca sepucuk surat yang ada di dalamnya. Husni nampak begitu
terkejut, ternyata Hani sempat menulis surat curahan hatinya tanpa
sepengetahuannya. Dengan tangan sedikit bergetar, Dia pegang surat itu dan dibacanya
dengan penuuh penghayatan. Sungguh batinnya terasa tersayat-sayat sembilu. Hatinya
pilu membisu.
Sejurus
kemudian dipandangnya Andi yang sedari tadi tampak memperhatikannya ketika
membaca surat itu.
“Andi,
Maafkan Aku... karena keegoanku semua ini terjadi pada sahabat kita Hani.” Suaranya terdengar serak menahan gejolak batinnya.
“Sudahlah
Husni, semuanya sudah terjadi. Aku juga merasa bersalah telah melibatkan kalian
berdua dalam masalah ini. Aku sangat sedih dengan keadaan Hani sekarang. Aku
tek bisa membayangkan kalau Aku yang berada di posisinya. Aku....” kalimat terpotong karena
tenggorokannya terasa tersekat, seakan hatinya menyesak ke atas ingin menemui
Hani yang terbaring lemah.
“Andi... Aku sekarang
menyadari, bahwa Kau begitu mengharapkanku. Tapi Aku juga tidak akan tega
mengkhianati dan menghancurkan perasaan sahabatku sendiri. Walau, Aku juga
tidak bisa membohongi perasaanku sendiri kepadamu.” Akhirnya Husni pun berterus terang
dangan perasaannya terhadap Andi, yang selama ini tak diperlihatkannya sama
sekali.
“Sekarang ini, yang
lebih penting adalah keselamatan dan kepulihan Hani dulu. Aku pun berharap rasa
ini sama-sama kita simpan saja dulu, sampai tiba waktunya tepat, baru kita bicarakan
lagi bersama-sama dengan Hani. Aku sangat berharap, Dia benar-benar tidak akan
pergi untuk selamanya. Dengan cara yang sangat kejam seperti ini. Aku masih
ingin melihat kalian berdua bersahabat, bercanda ria bersama-sama dalam suka
dan duka. Aku berharap kejadian ini bisa menyadarkan kita pentingnya arti
sahabat di atas yang lainnya. Jawab Andi dengan hati-hati.
“Baiklah, Aku setuju.
Mari kita sama-sama berdo’a untuk kesembuhan sahabat kita Hani.” Jawab Husni sambil langsung berdiri
dan beranjak bersama-sama dengan Andi menuju ruangan di depan IGD, di mana Pak
Budi dan kedua orang tua Hani menunggu tadi.
Tiba-tiba pintu ruang IGD
mulai terbuka. Tampak seorang dokter sudah berumur keluar dari ruangan itu
didampingi oleh beberapa orang perawat di belakangnya. Dari raut wajahnya,
tampak sekali sebuah kesedihan yang luar biasa.
“Maaf, Bapak dan Ibu.
Boleh kita berbicara sebentar di ruangan sebelah?” Sapa Dokter tersebut.
“Baik, Pak!” Jawab Pak Budi dan orang tua Hani
sambil mengikuti dokter ke ruangan sebelahnya. Andi dan Husni juga mengikuti
mereka dari belakang.
Setelah mempersilahkan
mereka untuk duduk di kursi yang terlah tersedia di ruangan yang berukuran 3x4
meter itu, dokter pun langsung memperkenalkan diri dan menanyakan keluarga
Hani. Setelah itu, barulah dokter menjelaskan kondisi Hani yang sebenarnya.
“Bapak, Ibu... Maaf,
kami telah berusaha sebaik mungkin. Tapi Hani tampaknya masih butuh waktu lebih
untuk melewati masa kritisnya. Luka dalam di kepalanya akibat terbentur tadi
memang sangat parah. Dia butuh istirahat total untuk bisa pulih kembali. Kami
berharap, Bapak dan Ibu bisa bersabar menghadapi musibah ini. Insya Allah, Kami
akan berusaha dengan sungguh-sungguh demi menyelamatkan putri Bapak dan Ibu.
Sekarang berikanlah Kami waktu untuk menolongnya. Jangan lupa bantu kami dengan
do’a yang tulus, semoga Allah memberikan kekuatan kepada Hani agar bisa
melewati masa kritisnya.” Begitu penjelasan dokter tersebut kepada orang tua Hani, Pak Budi, Andi
dan juga Husni.
Dokter juga menyatakan bahwa
Hani butuh darah golongan B sebanyak dua kantong, untuk mengatasi kekurangan
darah yang dialaminnya karena kecelakaan tadi. Dia berharap pihak keluarga
segera menghubungi pihak PMI di rumah sakit ini untuk mencari bantuan darah.
“Maaf, Pak! Kalau tidak
salah golongan darah saya juga B, Pak!” Tiba-tiba Andi mengeluarkan suaranya.
“Baik, Kalau begitu
silahkan Kamu periksakan di PMI ya, Nak! Semoga kamu bisa menolong Hani
nantinya.” Jawab
Dokter
“Kalau begitu, Saya
juga ingin mendonorkan darah Saya, Pak!” Jawab Husni tak mau ketinggalan pula.
“Silahkan, Nak! Semoga
pengorbanan kalian tidak sia-sia, Aamiin.” Jawab dokter dengan singkat. Dan tanpa berbasa-basi
lagi, dokter langsung mohon diri dan mempersilahkan mereka untuk kembali
menunggu di ruangan yang telah disediakan sambil melengkapi administrasinya dan
menyiapkan donor darahnya di bagian PMI.
Dalam hati kecilnya, Andi
dan Husni benar-benar berharap bisa mendonorkan darah mereka bagi Hani. Mereka
akan merasa sangat bersalah seandainya tidak bisa berbuat apa-apa untuk
menyelamatkan nyawa sahabat mereka sendiri. Mereka pun bergegas menuju ke
ruangan PMI setelah terlebih dahulu bertanya kepada satpam tentang letak
ruangan tersebut.
Setelah berada di sana,
mereka pun menyampaikan maksudnya kepada petugas di situ. Setelah diperiksa
dengan seksama, ternyata hanya darah Andi yang benar-benar cocok dengan Hani.
Dan kondisi Andi pun memungkinkan untuk mendonorkan darahnya. Andi benar-benar
lega dan seakan bisa mengurangi rasa bersalahnya kepada Hani. Sementara itu,
Husni tidak bisa ikut mendonorkan darahnya, karena golongan darahnya berbeda
dengan Hani. Namun, Dia tidak patah semangat. Dia akan menolong Hani dengan
cara yang lain, yaitu dengan meminta kepada orang tuanya agar membantu orang
tua Hani dalam urusan biaya perawatan
Hani selama dirawat di rumah sakit tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar