Selasa, 31 Desember 2019

Cinta Monyet Sang Remaja 2

 
Siang itu, jam di dinding sudah menunjukkan pukul 09.00 Wib, bel pertanda jam pelajaran pertama usai pun telah berbunyi. Sementara itu cuaca di luar sudah mulai memanas. Cahaya matahari tak lagi malu-malu dan bersembunyi di balik awan seperti halnya pagi tadi. Tapi para siswa masih bisa berlega hati, karena sekolah mereka dikelilingi oleh pepohonan yang rindang. Sehigga ruangan lokal mereka tetap terasa sejuk. Sesekali tampak sinar matahari berusaha menembus rindang dedauan hijau itu. Tampak pula bayang-bayang dedaunan yang menari-nari ditiup angin.

Sementara itu, di dalam kelas 2 A, murid-murid baru saja selesai mengerjakan ulangan harian dadakan yang diberikan Pak Budi. Udara di ruangan itu masih sejuk sebenarnya. Tapi, bagi Hani dan Andi terasa seperti berada dalam ruang pembakaran saja. Cat dinding yang berwarna hijau daun muda itu tak mampu meneduhkan hati mereka. Andi masih tak habis fikir tentang kesalahannya yang berakibat ia dipanggil Pak Budi ke ruang BK. Sementara itu Hani tak bisa membayangkan bagaimana marahnya Pak Budi nanti kepada Andi karena sepucuk surat cinta yang ia selipkan di catatannya tadi.
“Andi...!” Pak Budi memanggil Andi, seakan mengingatkan perkataannya di awal jam pelajaran tadi.
“Ya Pak! Saya akan segera ke sana Pak.” Jawab Andi
“Andi, maaf ya! Karena Aku, kamu dipanggil Pak Budi ke ruang BK.” Sela Hani
“Tapi kenapa emangnya Hani?” Andi makin penasaran
“Iya, soalnya tadi...” 
“Kenapa tadi Hani?”
Belum sempat Hani menjawab pertanyaan Andi, terlihat Pak Budi sudah kembali menoleh ke arah mereka. Dan bergegas Andi menuju ke ruang BK bersama Pak Budi. Begitu sampai di ruangan yang juga dicat berwarna hijau daun muda dan tampak asri itu Andi hanya tertegun. Baru kali ini ia merasakan suasana ruangan BK. Di sana ada sebuah lemari kaca seperti sebuah etalase tempat menyimpan berkas-berkas siswa yang berkasus selama ini. Di dindingnya tergantung dua buah photo yang diletakkan dengan sejajar, yaitu Photo Presiden dan Wakilnya. Sementara itu, jendelanya nampak ditutupi dengan tirai putih dengan motif bunga mawar yang tertata rapi. Di tengah ruangan, ada sebuah meja kayu berwarna coklat terang yang di atasnya ditutup dengan kaca tebal yang bergambar ikan emas yang sedang berenang di sebuah telaga yang jernih. Di atasnya, tampak sebuah bungan mawar plastik yang berwarna merah terang. Di dekat meja, satu buah kursi kayu Jati dengan warna yang seirama dengan warna mejanya. Selain itu, ada juga satu buah kursi panjang untuk tempat duduk siswa yang berurusan dengan guru BK. 

“Assalamu’alaikum Pak.” Sapa Andi begitu memasuki ruangan BK.
“Wa’alaikumussalam. Silahkan masuk Andi !”
“Maaf Pak, ada apa ya Bapak memanggil saya ke sini?”
“Begini, Kamu tahu kan, ini surat apa?”
“Ya tahulah Pak !”
“Lalu, kamu tahu siapa yang mengirimnya kepadamu?”
“Maaf Pak !, Saya benar-benar tidak tahu soal surat itu Pak.”
“Terus, kenapa bisa ada dalam catatanmu, Andi?”
“Saya juga tidak tahu Pak, Saya juga kehilangan buku catatan itu sejak kemarin Pak. Nah, tiba-tiba tadi pas saya akan mengumpulkan catatan, buku itu sudah ada dalam laci meja saya Pak, makanya saya kumpulkan saja.”
“Ohh begitu! Sekarang bagaimana kalau surat ini kita buka saja? Supaya jelas apa isinya dan siapa yang menulisnya” Pak Andi memintanya dengan hati-hati agar Andi bisa berbicara dengan terbuka tanpa ada yang ditutupi.
“Bb.. Baiklah Pak !” Jawab Andi sedikit gugup bercampur penasaran.
Pak Andi pun membuka dan membaca surat itu dalam hati di hadapan Andi. Andi dengan sendirinya juga membaca surat itu, karena sengaja surat itu diletakkan Pak Budi di atas meja.
“Andi... Andi... ternyata kamu punya pengagum rahasia nih!” Sahut Pak Budi
“Hmmm... lalu, Apa Hubungannya dengan Husni ya?” Tanya Pak Budi
“Maaf Pak, Saya juga belum paham Pak. Bagaimana kalau Husni juga dipanggil ke sini Pak, mana tahu Dia punya informasi lain.” Jawab Andi seperti seorang negosiator ulung saja.
“Tapi, rasanya ini tulisan Hani deh Pak !”
“Lho...! dari mana kamu tahu?”
“Biasanya juga Hani dan Husni yang membantu mencatatkan materi pelajaran di catatan saya Pak, makanya saya yakin, ini adalah tulisan Hani, Pak.”
“Wah...! ketahuan kamu sekarang!”
“Jadi, Selama ini mereka yang mencatat untukmu. Pantaslah tulisannya bagus dan rapi, tidak seperti biasanya.”
“Iya sih Pak...! Habis, sejak Saya dan Hari duduk di belakang mereka, kami sering mintak tolong mereka mencatat pak. Kan kami sering sibuk mengamankan kelas, Pak.” Andi mencoba membela dirinya.
“OK. OK...! Baiklah, Bapak paham. Sekarang kamu panggil mereka berdua ke sini ya!

Andi pun bergegas menuju kelas untuk memanggil Hani dan Husni, sang suspect pengagum rahasia. Dengan tergopoh-gopoh, segera Andi menghampiri Hani dan Husni yang sedang duduk bercengkerama di dalam kelas bersama Hari dan tema-teman lainnya.

“Hmmm... Hani dan Husni ! Kamu berdua juga dipanggil Pak Budi ke ruang BK.” Sahut Andi.
“Ihh... jangan bercanda kamu Andi !” Jawab Hani seakan tak percaya
“Iya...! Kamu pikir kami senang mendengarnya?” Jawab Husni dengan ketus.
“Ya Sudah! kalau kalian berdua tidak percaya, tunggulah Pak Budi yang menjemput kalian ke sini! Baru deh kalian gak bisa berkelit lagi.”  Jawab Andi seakan tidak mau berlama-lama dengan Husni dan Hani.

“Tapi salah kami apa coba?!”
“Masa iya, tanpa ada angin, tanpa hujan trus gledek nyambar gitu aja!”

Husni makin penasaran dan ketus. Sambil terus menggerutu, Husni pun mengikuti Andi menuju ruang BK. Sementara itu Hani semakin bingung dan merasa bersalah. Karena surat kalengnya, Andi dan Husni harus berurusan dengan Pak Budi di Ruangan BK. Ruangan yang oleh siswa dianggap sebagai ruangan keramat, bahkan ada yang menyebutnya seperti ruangan sidang pengadilan saja.

di sepanjang perjalanan menuju ruangan BK, Andi dan Husni tampak makin tak sabar. rasa penasarannya semakin lama semakin membumbung tinggi. Walaupun di belakang mereka Hani justru berjalan gontai bagaikan seorang terpidana mati yang akan dieksekusi. Dia tak bisa membayangkan betapa malunya Dia nanti, dihadapan Pak Budi sang Guru BK sekaligus Wali kelasnya. Ada Andi yang dikaguminya selama ini walaupun secara diam-diam saja. Ada Husni yang tak lain adalah sahabat dekatnya yang tanpa disadarinya, telah membuat Andi jatuh cinta kepadanya. Bagaimana nanti nasib persahabatan mereka?
“Ohh... Tuhan...” Gumamnya.

“Silahkan Masuk !”. Sambut Pak Budi begitu mereka sampai di depan pintu ruangan BK.
Setelah Andi, Husni dan Hani duduk di kursi persakitan itu, Pak Budi menjelaskan perihal surat yang terselip di buku catatan milik Andi. Kemudian Dia membuka sepucuk surat berwarna pink dan bergambar bunga tersebut di hadapan mereka. Belum sempat Pak Budi membacakan surat tersebut, buru-buru Hani mengakui perihal surat itu.

“Tunggu, Pak! Saya berharap Bapak tidak membacakan surat itu, karena jujur saja Sayalah yang menulis surat tak bertuan itu Pak. Saya sebenarnya menaruh hati pada Andi, tapi Andi justru menitip hatinya pada Husni, sahabat saya sendiri. Saya kecewa Pak... tapi saya juga berharap, Husni bisa menerima cintanya Andi. Maafkan Aku Andi, Husni. Karena Aku kalian mendapat masalah seperti ini. Aku memang salah, tapi aku juga tidak kuat menahan rasa yang bergelora ini. Aku tak kuasa...” Tanpa diminta, Hani menumpahkan isi hatinya. Sekarang Dia merasa lega. Walaupun belum tahu bagaimana reaksi Pak Budi dan teman-temannya nantinya.
“Nah... itu dia ! cinta itu ibarat kentut, kalau ditahan bikin sakit perut, kalau dibuang orang pada ribut... ha ha ha...!” Pak Budi justru menanggapinya dengan sedikit berseloroh yang membuat seisi ruangan menjadi sedikit riuh.
“Ya.. ya.. ya... Bapak paham. Hmmm... Sekarang bagaimana tanggapanmu Husni?” Tiba-tiba pertanyaan Pak Budi mengarah pada Husni.
“Maaf Pak! Andi, Hani... Kayaknya aku tidak terlibat langsung deh dengan persoalan kalian berdua.” Sahut Husni singkat
“Tapi gak bisa gitu juga kali...!” Jawab Andi
“Iya Husni...! Masa iya Kamu gak mau aja gitu? Walau bagaimana pun Kamu juga harus bersikap adil dong.” Sambung Hani
“Tapi Aku memang gak ada rasa apa-apa selama ini, Aku menganggap kalian berdua itu, ya sahabatku. Tak lebih. Jadi Kalian harus bisa ngertiin aku juga dong!” Jawab Husni
“Tapi...” belum sempat Hani melanjutkan, sudah dipotong oleh Pak Budi.
“Ya sudah... Tak perlu juga kalian ribut memperpanjang persoalan hati ini. Bapak punya saran nih, mau gak!
“Mau mau mau, Pak!” Jawab Andi penuh semangat
“Begini, rasa cinta itu sebenarnya normal. Wajar saja, karena kalian kan sudah remaja. Tapi ya harus dikendalikan dengan baik. Harus disalurkan kepada hal-hal yang positif. Supaya belajar kalian tidak terganggu. Misalnya nih, kalian bisa berolahraga, membaca cerita, mengikuti kegiatan-kegiatan ekstra kurikuler dan lain-lain. Pokoknya harus ada kegiatan yang melibatkan fisik dan emosi sekaligus. Nanti kalau sudah waktunya, kalian sudah dewasa baru deh kalian persiapkan dan selesaikan urusan percintaan ini. Bagaimana, Deal?”
“OK dech, Pak! Akan kami coba.” Jawab Andi, Husni dan Hani Serentak
“Baiklah, Silahkan kalian kembali ke kelas. Jangan lupa pesan Bapak tadi ya!”
“Baik Pak. Assalamu’alaikum.”
“wa’alaikumussalam.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Musim Cerai, Sepenggal Kisah di Warung Kopi

Mak Sutan hanya diam memperhatikan Etek Biyai dari balik kaca etalase warung kopinya. “Terima kasih, Tek Biyai.” Sahut Angku Kali sam...